Romli Atmasasmita
Guru Besar (Emeritus) Hukum Pidana
Putusan
praperadilan yang dipimpin hakim Sarpin Rizaldi, seorang hakim senior
dengan golongan pangkat IV/D, telah mengundang prokontra.
Penulis
yang memberikan keterangan ahli dari pihak Budi Gunawan dan Divisi
Hukum Mabes Polri serta secara langsung mengalami dan melihat sosok
hakim senior Sarpin dapat mengatakan kepada publik bahwa ia sosok hakim
yang berani, tegas, dan mumpuni dari sisi ilmu hukum.
Bahkan
dalam beberapa kesempatan tanya jawab, hakim Sarpin ikut membantu kuasa
hukum Budi Gunawan dan KPK untuk memperbaiki pertanyaannya sehingga
pertanyaan hanya meminta pendapat ahli, bukan penilaian ahli terhadap
fakta kasus yang dituduhkan kepada Budi Gunawan.
Berbeda dengan
mantan hakim agung RI yang juga kolega senior dari hakim Sarpin, penulis
mengapresiasi hakim Sarpin karena dari pengalamannya sebagai hakim
senior dan dalam pertimbangannya menunjukkan bahwa yang bersangkutan
memahami betul hakikat lembaga praperadilan dalam konteks sistem
peradilan pidana terpadu berdasarkan UU RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana. Hakikat ini tidak banyak orang, sekalipun ahli hukum
pidana, memahami dengan sungguhsungguh dan baik.
*** Para ahli
hukum pidana dan pengamat nonhukum mengkritik keyakinan hakim Sarpin.
Padahal keyakinan tersebut dilindungi UU RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, khususnya Pasal 3 ayat (2) yang menegaskan bahwa
“segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar
kekuasaan kehakiman DILARANG (huruf besar, pen), kecuali dalam halhal
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945”;
bahkan terdapatancamanpidana terhadap siapa saja (ayat 3).
Semua
warga negara Indonesia seharusnya menjunjung tinggi kedaulatan hakim di
dalam memeriksa dan memutus suatu perkara; tidak malah mem-bully setiap
hakim yang memeriksa dan memutus perkara tipikor jauh sebelum hakim
bersidang. Kebiasaan buruk dan tidak terpuji yang selalu dilakukan LSM
antikorupsi ini seharusnya tidak perlu terjadi di dalam demokrasi yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 bukan konstitusi AS atau Inggris!
Begitu
pula tokoh-tokoh masyarakat yang latah mencampuri kekuasaan kehakiman
dengan menyampaikan opini kepada publik tanpa yang bersangkutan memiliki
pengetahuan hukum sedikit pun kecuali hanya “katanya” (testimonium de
auditu).
Pengamatan saya selaku ahli terhadap sikap pengamat,
tokoh masyarakat, dan ahli hukum yang tidak memiliki kompetensi hukum
pidana memprihatinkan ketika mereka mengatakan “apa pun yang diputuskan
hakim harus kita hormati”, tetapi dalam kenyataannya mereka menjadi
munafik ketika putusan hakim tidak sesuai dengan kehendak hatinya dan
berlomba-lomba mengkritik keyakinan hakim seperti terjadi pada hakim
senior Sarpin.
Dalam konteks inilah penulis sangat mengapresiasi
sikap dan keyakinan hakim Sarpin yang dengan tegar dan cerdas memutus
permohonan praperadilan Budi Gunawan tanpa ada rasa takut dan ragu-ragu
dan dipersiapkan dengan baik. Jika membaca petikan putusan hakim Sarpin,
penulis melihat bahwa pertimbangan putusannya telah sejalan dengan
ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman.
Aturan tersebut memerintahkan hakim dan
hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan masyarakat dimaksud adalah sejalan dengan perkembangan
HAM Internasional dan UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan hakikat
perlindungan HAM yang tecermin dari ketentuan Bab XA UUD 1945 tentang
HAM.
Pascaratifikasi Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi,
Hak Sosial dan Hak Politik, dengan UU RI Nomor 12 Tahun 2005,
seharusnya setiap bentuk tindakan aparatur negara termasuk penyidik dan
penuntut yang diduga telah melanggar hak-hak asasi tersebut dapat
dimintakan perlindungan kepada lembaga praperadilan.
Kesempatan
tersebut tidak terbatas pada alasan-alasan apa yang telah ditentukan
secara limitatif di dalam Pasal 77 KUHAP dengan dasar perkembangan
kebutuhan perlindungan HAM setiap orang terlepas dari latar belakang
etnis, sosial, ekonomi dan kedudukannya dalam masyarakat dari
penyalahgunaan wewenang oleh aparatur hukum.
Menurut Remmelink
(2003), setelah lahirnya Konvensi Uni Eropa tentang HAM, Pasal 1 KUHAP
Belanda, yang menyatakan bahwa hukum acara pidana yang berlaku adalah
hukum acara yang ditentukan dalam undang-undang ini (KUHAP), tidak lagi
bersifat mutlak.
Contoh, proses perolehan bukti perkara pidana
merupakan persoalan serius; tidak lagi hanya cukup bahwa telah ada bukti
permulaan yang cukup. Begitu pula dalam konteks penetapan sebagai
tersangka, tidak cukup hanya keabsahan proses administrasi semata,
melainkan harus diuji keabsahan perolehan bukti permulaan yang cukup
sehingga seseorang ditetapkan menjadi tersangka.
*** Putusan
hakim Sarpin merupakan peringatan terhadap setiap aparatur penegak
hukum, tidak terbatas pada KPK, untuk bertindak hati-hati dan tidak
menyalahgunakan wewenang. Putusan hakim Sarpin menurut penulis merupakan
putusan yang monumental (landmark decision) yang membuka ruang bagi
setiap orang di dalam wilayah hukum NKRI untuk mempersoalkan pelanggaran
HAM dalam proses penyidikan dan penuntutan.
Secara teoretik,
pertimbangan hakim Sarpin dalam putusannya merupakan penemuan hukum
(rechtsvinding ) dan telah sejalan dengan hukum sebagai sistem norms and
logic yang dapat membawa pencerahan kepada masyarakat (Mochtar
Kusumaatmadja), hukum tentang perilaku (alm Satjipto Rahardjo), dan
hukum sebagai sistem nilai (Romli Atmasasmita)
Sumber: Koran Sindo Online
No comments:
Post a Comment