Memang sudah saatnya saya move on, memindahkan dukungan moril.
Harus saya buang rasa gengsi karena terlanjur memilih Ahok tahun 2012
lalu. Saya juga harus minta maaf dan mengaku salah, kepada Pak Mokhamad
Dahlan, orang bijak yang saya hormati. Saya pernah mencoba meyakinkan
beliau bahwa Ahok-lah sosok reformer yang dibutuhkan Jakarta. Kini, saya
harus akui, saya salah.
Sebagai penebus rasa berdosa saya, terhadap warga Jakarta, maka secara
jantan+gentlement, saya akui, Ahok telah menjadi musibah bagi warga
Jakarta.
Di tahun ke-3 kepemimpinannya, warga Jakarta dipermalukan di-seluruh
dunia. Majalah the Economist menobatkan Jakarta kota paling tidak aman
(paling kriminal) sedunia. Kebanggaan warga Jakarta juga pupus oleh
hasil riset Castrol, yang menobatkan Jakarta sebagai kota dengan lalu
lintas terburuk di dunia. Bahkan, bila ada lembaga internasional yang
mengukur penanganan banjir sedunia, Jakarta dibawah kepemimpinan Ahok,
berpeluang besar mencetak hattrick rekor sebagai terburuk sejagad raya.
Kini, saya bahkan harus minta maaf juga kepada segenap warga miskin
Jakarta. Jakarta menjadi kota tega mengusir pedagang kaki lima. Pajak
(PBB) melejit tinggi, tapi saat rakyat mengeluh, Ahok tega bilang, “jika
tak sanggup bayar PBB, jual saja rumahnya”.
Untung minggu ini ada wacana hapus PBB oleh menteri agraria Ferry M.
Baldan. Barulah Ahok agak melunak, meski masih ngotot memasang syarat
mempersulit. Padahal Ferry sudah benar. S emua rumah tinggal, rumah
sakit dan sekolah, mestinya bebas PBB. APBD dari PBB toh bisa digenjot
dari penerapan denda setinggi-tingginya untuk pelanggaran lalu lintas,
memasang kamera over-speeding, denda parkir, denda membuang sampah
sembarangan, cukai rokok-miras dan sejenisnya.
Saya, meski juga senang bersepeda (motor) di Jakarta, juga harus meminta
maaf kepada para bikers se-Jakarta. Saat pemda masih gagal membangun
MRT dan Monorail yang dijanjikan serta kualitas dan intensitas pelayanan
Busway belum memadai, mestinya yang dilarang beroperasi di pusat kota
adalah mobil-mobil pribadi. Bukan sepeda motor!
Mestinya pusat kota hanya diperuntukkan bagi kendaraan
umum/ambulan/pemadam kebakaran, sepeda motor, sepeda kayuh, dan pejalan
kaki. Bukan hanya agar rakyat berolahraga dan sehat, tapi agar ruang
tersisa di jalan raya banyak tercipta.
Memprioritasikan akses bagi sepeda motor (dan sepeda) di pusat kota
memiliki implikasi azas keadilan. Rakyat yang berpendapatan rendah
seperti office boy, pegawai honorer, tata usaha, satpam, dll membutuhkan
sepeda motor sebagai alat paling efisien-efektif dalam mengejar
ketertinggalan dari saudara se-kota yang lebih sejahtera. Mestinya,
akses ke pusat kota untuk mereka, lebih diutamakan. Adapun pemilik mobil
pribadi bila enggan bike to works atau menggunakan sepeda motor, dapat
didorong untuk menggunakan angkutan umum. Dijamin, macet Jakarta segera
jauh berkurang.
Saya pun masih harus meminta maaf terhadap para orang tua atas dekadensi
moral yang kian memburuk di Jakarta. Kemudahan menjual minuman keras
hingga rencana lokalisasi pelacuran di Jakarta, yang sempat membuat
heboh media, semakin meresahkan. Miras contohnya, mestinya makin
dibatasi peredarannya dan bahkan dikenakan cukai sangat tinggi. Adapun
pelacuran, fenomena cabe-cabean, pergaulan bebas, sebagai wujud penyakit
sosial masyarakat, mestinya mendapatkan perhatian penanganan.
Disembuhkan menggandeng para pendidik dan agamawan, mendorong penguatan
karakter, moral dan nilai-nilai agama di tengah-tengah masyarakat.
Saya pun masih harus meminta maaf kepada generasi muda se-Jakarta. Atas
kesalahan saya memilih pemimpin yang ternyata mengajarkan kata-kata
kasar penuh umpatan seperti bajing*n dlsb, memarahi pelajar maupun PNS
di DKI. Seolah menegaskan, sayalah sang malaikat, sedang kalian semua
adalah bajing*an.
Saya sadari ini adalah contoh akhlak yang sangat buruk. Padahal dalam
memarahi anak-anak, termasuk anak buah tentunya, tidak harus menggunakan
kata-kata yang kasar. Tapi dengan teladan dan sikap yang tegas.
Sebisanya tetap dalam bingkai yang santun, tapi efektif. Kasar dan
tegas, ternyata tak semua pemimpin mampu membedakannya.
Hasil dari kekasaran itu pun terbukti buruk. Umpatan kasar itu bahkan
menghasilkan rekor kinerja birokrasi pemprov DKI yang buruk selama 2
tahun dibawah kepemimpinan Ahok. Daya serap anggaran terendah
se-Indonesia, dan BPK bahkan menemukan banyak penyimpangan dalam
penggunaan mata anggaran oleh pemprov DKI.
Satu penyesalan. Karena kesibukan, saya hanya sempat membaca media
mainstream, tanpa sempat check dan ricek serta tanyakan dulu pada hati
nurani. Shg saya salah menyangka Ahok sehebat framing media. Tapi
akhinya waktu jugalah yang menjawab dgn bukti kinerja yang lemah bahkan
mendapat award terburuk spt itu. Itulah kenapa saya harus move on. Juga
harus belajar tidak ditipu lagi oleh media-media penyesat opini.
Dengan menuliskan status ini, hati saya sedikit lega. Saya akhirnya
berhasil mengenyahkan rasa gengsi dan bersedia move on, tidak lagi
mendukung kepemimpinan Ahok. Pertanyaannya sekarang, apakah teman-teman
yang juga terlanjur tertipu citra, sanggup berjiwa besar move on juga?
Prayudhi Azwar
Perth, 6 Februari 2015
Berita terkait: Mengapa Warga Jakarta Ingin Mandat Gubernur Ahok Dicabut
No comments:
Post a Comment