Berikut penjelasan Prof.Dr.KH. Ali Mustafa Ya’qub, Rais Syuriah Bidang Fatwa
2010-2015 Pengurus Besar Nadhlatul ‘Ulama (PBNU) dan Imam Besar Masjid
Istiqlal tentang Islam dan Nusantara, serta friksi antara NU dan Wahabi di Indonesia.
Bagaimana pandangan Pak Kiai tentang istilah “Islam Nusantara”?
Kalau “Islam Nusantara” itu Islam di Nusantara, maka tepat. Kalau
“Islam Nusantara” itu Islam yang bercorak budaya Nusantara, dengan
catatan: selama budaya Nusantara itu tidak bertentangan dengan Islam,
maka itu juga tepat. Namun kalau “Islam Nusantara” itu Islam yang
bersumber dari apa yang ada di Nusantara, maka itu tidak tepat. Sebab
sumber agama Islam itu Al-Qur’an dan Hadits. Apa yang datang dari Nabi
Muhammad itu ada dua hal yaitu agama dan budaya. Yang wajib kita ikuti
adalah agama: aqidah dan ibadah. Itu wajib, tidak bisa ditawar lagi.
Tapi kalau budaya, kita boleh ikuti dan boleh juga tidak diikuti. Contoh
budaya: Nabi pakai sorban, naik unta, dan makan roti. Demikian pula
budaya Nusantara. Selama budaya Nusantara tidak bertentangan dengan
ajaran Islam, maka boleh diikuti. Saya pakai sarung itu budaya Nusantara
dan itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Shalat pakai koteka itu
juga budaya Nusantara, tapi itu bertentangan dengan ajaran Islam, maka
itu tidak boleh. Jadi harus dibedakan antara agama dan budaya
Tadi Pak Kiai menyatakan Islam yang bercorak budaya Nusantara
itu tepat, padahal Pak Kiai tadi juga menyatakan sumber agama Islam
bukan dari apa yang ada di Nusantara, jadi maksudnya apa Pak Kiai?
Maksud saya, Islam yang bercorak budaya Nusantara itu boleh saja
sepanjang tidak bertentangan dengan Islam. Tapi kalau Islam yang
bersumber dari apa yang ada di Nusantara, baik aqidah maupun
ibadah harus asli dari Nusantara, maka itu tidak tepat. Tapi saya
katakan Islam itu bukan Arab sentris. Islam itu apa kata Al-Qur’an dan
Hadits, bukan Arab sentris. Tidak semua budaya Arab harus kita ambil.
Sebab ada budaya Arab yang bertentangan dengan ajaran Islam. Contohnya,
orang- orang minum khamr di zaman Nabi dan beristri lebih dari
empat. Tadi saya katakan, Nabi pakai sorban, apa kita wajib pakai
sorban? Tidak ada hadits yang menunjukkan keutamaan memakai sorban.
Tidak ada hadits yang mengatakan memakai sorban itu mendapat pahala.
Para ulama mengatakan sorban itu budaya Nabi, budaya kaum Nabi pada
zamannya.
Pak Kiai bagaimana sebaiknya umat Islam memandang budaya?
Sepanjang budaya tidak bertentangan dengan ajaran Islam, maka kita boleh mengambilnya. Ini masuk wilayah muamalah.
Silakan ikuti budaya Arab, silakan pakai sorban. Tapi jangan mengatakan
orang yang tidak pakai sorban, tidak mengikuti Nabi. Saya pukul kalau
ada orang yang mengatakan seperti itu. Silakan makan roti karena
mengikuti budaya Nabi. Tapi jangan mengatakan orang yang makan nasi,
tidak mengikuti Nabi. Demikian juga budaya Nusantara. Sepanjang budaya
Nusantara tidak bertentangan dengan Islam, silakan ambil. Islam sangat
memberikan peluang bagi budaya, selama budaya itu tidak bertentangan
dengan ajaran Islam, boleh kita ambil. Silakan berkreasi dan ambil
budaya apapun, selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam
Kemunculan “Islam Nusantara” ini membuat sebagian orang membandingkan dengan “Islam Arab”, bagaimana menurut Pak Kiai?
Saya tidak sependapat dengan bandingan-bandingan seperti itu. Islam itu Islam saja.
Jadi istilah “Islam Nusantara” itu tidak ada ya Pak Kiai?
Ya, Islam itu agama. Nusantara itu budaya. Tidak bisa disatukan antara agama dan budaya.
Selanjutnya mengenai NU dan “Wahabi”. Bagaimana pertentangan NU
dan “Wahabi” antara tahun 20an sampai sekarang. Karena seperti
diketahui, dulu di Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) mereka bisa akur?
Saya mengatakan tidak ada pertentangan antara NU dan “Wahabi”. Yang
ada adalah perbedaan antara ulama-ulama sumber rujukan NU dengan
ulama-ulama sumber rujukan “Wahabi”. Perbedaan ini ada jauh sebelum NU
dan “Wahabi” lahir. Jangankan NU dan “Wahabi”, Imam Syafi’i yang hanya
satu orang, bisa berbeda pendapat ketika berada di Baghdad dan Mesir.
Antara ulama-ulama mazhab Syafi’i juga bisa berbeda pendapat. Tapi
perbedaan itu tidak akan keluar dari dua karakter, pertama, tidak
menyebabkan kekafiran dan kedua, perbedaan itu sudah ada sebelum NU dan
“Wahabi” ada. Jadi tidak perlu dipermasalahkan. Kalau ada yang
mengatakan “Wahabi” itu suka mengkafirkan dan membid’ahkan , maka itu
fitnah. Saya belajar “Wahabi” 9 tahun. Di dalam kitab-kitab “Wahabi”
tidak ada yang menyatakan selain kelompok “Wahabi” itu kafir. Itu fitnah
untuk mengadu domba NU dan “Wahabi”. Dan yang memfitnah itu adalah agen
zionis. Kalau ada yang mengatakan Tuhannya bukan Allah, baru itu kafir.
Bagaimana pandangan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari tentang “Wahabi”?
Ketika itu, istilah yang lazim bukan “Wahabi” tapi salafi atau taimi.
Banyak pandangan beliau yang sama dengan “Wahabi”. Kitab-kitab beliau
banyak merujuk pada kitab-kitab Imam Ibnu Taimiyyah. Imam Ibnu
Taimiyyah itu rujukannya “Wahabi”. Tapi kata beliau, “Banyak salafi-salafi yang palsu.”
Palsu karena tidak mengikuti ajaran Imam Ibnu Taimiyyah. Contohnya,
mereka menilai orang-orang yang bertawasul dengan nama Nabi Muhammad itu
misalnya musyrik atau kafir. Padahal Imam Ibnu Taimiyyah membolehkan
itu.
Tentang kitab-kitab ulama di pesantren, kitab apa saja yang dipakai? Apa ada kitab ulama lokal?
Sewaktu Saya di pesantren Tebu Ireng, kitab ilmu hadits karya Kiai
Mahfudz itu dipelajari. Ulama-ulama lokal seperti Kiai Mahfud Termas
asal Pacitan dan Kiai Nawawi asal Banten, juga menulis kitab, tapi
menulisnya di Mekkah. Bisa jadi Kiai Hasyim ‘Asyari menulis kitabnya di
Mekkah karena beliau pernah tinggal di sana.
Terakhir, apa nasihat Pak Kiai untuk umat Islam di tengah polemik isu “Islam Nusantara” serta NU dan “Wahabi” ?
Pertama, kita harus membedakan antara agama dan budaya. Agama: aqidah dan syariah,
kita harus mengikuti Rasulullah. Sementara, budaya itu masuk muamalah.
Budaya apa pun, termasuk budaya Arab selama tidak bertentangan dengan
ajaran Islam, silakan. Tapi hati-hati, sebab bisa saja orang pakai
sorban itu dalam rangka mencari popularitas. Ketika semua orang tidak
pakai sorban, tapi ada 1 orang pakai sorban, maka itu diharamkan dalam
Islam karena sorban itu menjadi pakaian popularitas. Menurut seorang
Ulama Arab, Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin mengatakan, hal itu
menunjukkan kesombongan. Penampilan itu menunjukkan seorang merasa lebih
mirip nabi. Itu arogan dan tidak bagus. Kedua, NU dan “Wahabi” tidak
ada pertentangan, yang ada perbedaan. Persamaannya banyak dan
perbedaannya sedikit. Perbedaannya itu tidak menimbulkan kekafiran dan
perbedaan itu tidak terjadi setelah NU dan “Wahabi” ada. Jadi
perbedaannya hanya dalam hal furu’iyyah, bukan hal yang prinsip.
Sumber: Jejak Islam untuk Bangsa, Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Ya’qub : “Islam itu agama. Nusantara itu budaya.”
Profil Prof.Dr.KH. Ali Mustafa Ya’qub: http://www.muslimedianews.com/2013/10/biografi-pakar-hadits-indonesia-prof-dr.html
No comments:
Post a Comment