Tuesday 3 March 2015

Mengapa Harga Beras Naik Tajam

Andi Irawan, dosen Pascasarjana Agrobisnis Universitas Bengkulu, menyampaikan dalam Tempo online bahwa kenaikan harga beras saat ini bisa dikatakan terjadi karena kelangkaan alamiah. Kelangkaan alamiah adalah sesuatu yang niscaya karena, dalam satu tahun, panen hanya terjadi pada bulan-bulan tertentu (Maret dan April panen raya, Agustus panen gadu, dan November panen kecil). Pada bulan-bulan tersebut, khususnya panen raya, produksi menjadi berlimpah. Dan sebaliknya, di luar bulan-bulan tersebut dinamakan musim paceklik karena produksi sedikit atau bahkan tidak ada.

Dengan demikian, faktor manajemen logistik dan distribusi antarmusim akan menentukan terjadi-tidaknya kelangkaan beras. Prinsip umumnya adalah, ketika musim panen, negara menyerap beras untuk disimpan sebagai stok di gudang-gudang Bulog, yang selanjutnya dilempar ke pasar pada musim paceklik agar harga tetap stabil.



Kenaikan harga beras yang anomali saat ini bisa dijelaskan karena mismanagement logistik beras nasional. Mengapa kita katakan begitu? Karena pemerintah pada November dan Desember abai mengeluarkan beras murah untuk rumah tangga miskin (raskin). Dua bulan terlambat melepaskan raskin, padahal pada saat yang bersamaan sedang musim paceklik, maka tak pelak hal ini menyebabkan harga naik sangat tajam.

Keterlambatan pengeluaran raskin terjadi karena pemerintah menilai kebijakan ini tidak tepat lagi kalau ditujukan untuk menolong orang miskin, karena banyak salah sasaran dan pelanggaran dalam implementasinya. Pemerintah bermaksud menggantinya dengan e-money, di mana rumah tangga miskin diberi uang secara langsung, tidak lagi dalam bentuk beras.

Pemerintah tampaknya lupa bahwa program raskin tak sekadar menolong orang miskin, tapi juga mempunyai fungsi penting, yakni menstabilkan harga beras. Selama ini harga beras bisa stabil karena pemerintah setiap bulan menggelontorkan beras untuk 15,5 juta rumah tangga miskin sebanyak 15 kg per rumah tangga atau sekitar 230 ribu ton per bulan dengan harga sangat murah: Rp 1.600 per kilogram. Kuantitas beras yang sedemikian besar dengan harga yang sangat murah sangat membantu menciptakan kestabilan harga beras.

Mismanagement logistik dalam empat bulan terakhir inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh para pedagang besar. Dan peluang itu ada karena struktur pasar beras bersifat oligopoli. Ada segelintir pedagang besar yang menguasai suplai beras nasional berhadapan dengan ratusan juta konsumen beras. Kondisi yang demikian menciptakan pedagang-pedagang itu mempunyai power di pasar. Mereka bisa menjadi price maker (penentu harga). Artinya, kenaikan harga beras anomali yang terjadi saat ini karena para pedagang besar beras memanfaatkan kelalaian pemerintah melakukan stabilisasi harga beras rutin melalui program raskin dalam empat bulan terakhir.

Hal tersebut dibenarkan oleh Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Syarkawi Rauf yang menyebut pemerintahan Jokowi - JK memiliki andil dalam masalah kenaikan harga beras yang diduga terjadi akibat adanya ulah kartel. Menurut Syarkawi, agenda penggantian beras miskin alias raskin dengan e-money berpengaruh pada tindakan para pelaku usaha. Dia menduga jika memang benar ada sejumlah oknum yang bersekongkol dalam memainkan stok dan harga beras, hal tersebut terjadi akibat tindakan pemerintah yang dianggap tidak tepat dalam rencana penghapusan raskin.

"Jalur suplai kita masih oligopolistis. Pada beberapa rantai distribusi, khususnya penggilingan beras dan pedagang besar masih dikuasai oleh segelintir orang. Sehingga agenda pergantian raskin dengan e-money sangat berpengaruh pada tindakan para pelaku usaha," ucap Syarkawi seperti dilansir dari Antara, Minggu (1/3).

Syarkawi menyebut dengan kecilnya jumlah pengusaha penggilingan dan pedagang besar, mereka bisa dengan bebas memainkan pasokan dan harga jual beras di pasar. Akibatnya Bulog yang berperan sebagai stabilisator harga beras menjadi tidak berjalan. Peran tersebut justru berpindah ke pemilik penggilingan beras dan para pedagang besar.

"Kalau masalah ada kartel atau tidak, hingga saat ini kami belum melihat adanya indikator tersebut," tutupnya.

No comments:

Post a Comment