Ketika persaingan global AS dan Tiongkok semakin menajam di kawasan
Asia Pasifik yang berdampak langsung pada Indonesia, peta kekuatan
kedua adidaya wajib kita identifikasi dengan seakurat mungkin. Kedigdayaan Tiongkok di bidang ekonomi dibandingkan AS semakin
terlihat ketika perusahaan Tiongkok menjadi operator strategis Pelabuhan
Gwadar yang terletak di dekat Selat Hormuz dan merupakan pelabuhan
paling sibuk untuk jalur pelayaran minyak, sejak Februari 2013.
Tiongkok menanamkan investasi sebesar USD 250 juta untuk mengambil
alih operasional perusahaan dalam rangka meraih keuntungan yaitu
mengurangi biaya pengiriman barang dari Tiongkok ke Timteng dan Afrika.
Namun, langkah itu juga dapat diartikan memberikan warning kepada AS
bahwa geopolitik utama Tiongkok telah dialihkan ke kawasan Asia
Pasifik.
Pada saat bersamaan, AS meningkatkan kekuatan militernya di Singapura
dan Filipina. Di New York, mantan Kepala Ekonom Bank Dunia, Lin Yifu
mengatakan, perekonomian Tiongkok mampu tumbuh 8% per tahun selama 20
tahun ke depan, meski dengan embel-embel Tiongkok harus melakukan
reformasi. Begitupun, kekuatan ekonomi Tiongkok dengan jelas tergambar.
Harian berbahasa Mandarin, Yinni Xingzhou Ribao melaporkan, periode
Januari s/d November 2012, investasi langsung Tiongkok ke luar negeri
(merger dan akuisisi) di sektor non finansial mencapai USD 62,5 miliar
(naik 25%), proyek kontrak di luar negeri sebesar USD 102,4 miliar (naik
18,7%) dan jumlah kontrak baru sebesar USD 128,8 miliar (naik 12,9%).
Prediksi dari Bank Dunia menggambarkan bahwa di tahun 2020 Tiongkok akan
mampu menggeser posisi AS. Jika pola ini berlanjut di tahun 2050, Cina
akan menjadi negara hegemonik baru.
Barang tentu, meski hanya sekadar prediksi, mengundang kekhawatiran
besar di Washington. Sehingga kekhawatiran tersebut mendorong Paman Sam
untuk meningkatkan skala kekuatan militernya di kawasan Asia Pasifik.
Tujuannya, untuk meminimalisir situasi yang tak terduga.
Perang Asimetris ala Tiongkok Lebih Unggul Dibanding AS
Lantas
bagaimana pemerintahan Jokowi-JK memandang persaingan global AS versus
Tiongkok saat ini? Pada tataran ini pemerintah harus pandai-pandai
membaca tren global saat ini. Saat ini, para pemangku kebijakan
strategis politik luar negeri kita harusnya sudah membaca adanya
kemunduran hegemoni AS yang ditandai terjadinya stagnasi ekonomi sejak
tahun 2008.
Stagnasi ekonomi ini membuat semakin besarnya defisit anggaran dan
perdagangan AS yang melemahkan posisi mata uang dollar sebagai mata uang
internasional dibandingkan yuan. Kemunduran hegemoni AS ini juga
diikuti dengan terjadinya kompetesi strategis antara AS dan Tiongkok,
terutama di sektor keamanan energi. Manuver Tiongkok mencari minyak dan
gas dari Afrika, Asia Tengah, dan Asia Tenggara kemudian bersinggungan
dengan kepentingan liberalisasi ekonomi dan politik AS di wilayah ini.
Salah satu kunci Tiongkok lebih kuat dari AS, karena untuk mewujudkan
”China Dream”, yang menjadi simbol kebangkitan etnis Tionghoa, Xi
Jinping (Presiden Tiongkok ) dan Li Keqiang (PM Tiongkok ), maka
Tiongkok -Hongkong dan Makau harus saling bekerjasama dan saling
melengkapi. Tiongkok tetap menganggap Huaren dan Huaqiao (warga Tiongkok
perantauan) menjadi aset penting mengejar “China Dream” tersebut.
Langkahnya adalah semua elemen Tiongkok dimanapun berada adalah “satu
bangsa” melalui program cultural nationalism. Hal tersebut ditegaskan,
Martin Jaques dalam bukunya ”When China Rules The World”.
Inilah salah satu faktor mengapa dalam Perang Asimetris (upaya
menaklukkan suatu negara melalui sarana-sarana non militer), Tiongkok
lebih unggul daripada AS.
Mengurai Perang Asimetris ala Tiongkok
Memang belum ada rujukan
yang pasti. Namun jika dilacak dari model kebijakan politik terbaru yang
dikembangkan ketika hendak memasuk abad ke 21. Betapa Tiongkok sejak
reformasi, menurut Prof. Wang Gung Wu dalam seminar di CSIS, 16 November
1997, mengalami masa transformasi dan konvergensi ke arah kapitalisme
yang melahirkan One Country and Two System, yakni sistem negara dengan
eloborasi ideologi sosialis/komunis dan kapitalis. Dengan kata lain,
model perekonomian boleh saja bebas sebagaimana kapitalisme berpola
mengurai pasar, namun secara politis tetap dalam kontrol negara cq
Partai Komunis Tiongkok.
Poin penting di sini, titik berat konsep ini adalah swasta pada satu
sisi, sedang peran negara diperkecil di sisi lain. Artinya, para
pengusaha boleh di depan membuka ladang-ladang usaha-usaha di luar
negeri, tetapi ada back up militer (negara) di belakangnya. Itu titik
poin konsepsi One Country and Two System yang kini tengah dijalankan
oleh Tiongkok di berbagai belahan dunia.
Ciri lain Tiongkok dalam menerapkan reformasi politiknya, jika
kedalam ia gunakan ‘pendekatan naga’ terhadap rakyatnya. Sangat keras,
tegas, bahkan tanpa kompromi demi stabilitas di internal negeri. Kasus
di lapangan Tianamen merupakan bukti nyata, betapa Negeri Tirai Bambu
tidak terpengaruh oleh angin syurga demokrasi, HAM, freedom, dll yang
digemborkan oleh Barat. Termasuk dalam hal ini adalah hukuman (tembak)
mati bagi para koruptor, dan lain-lain. Lalu ketika Tiongkok
melangkahkan kaki keluar, tata cara pun diubah, ia menerapkan
‘pendekatan panda’ (simpatik). Sangat bertolak belakang dengan kebijakan
internalnya. Menebar investasi misalnya, ataupun “bantuan dan hibah”
dalam wujud pembangunan gedung-gedung, infrastruktur, dll sudah barang
tentu dengan persyaratan “tersirat”-nya yang mengikat.
Turnkey Project Management
Ini merupakan sebuah model investasi
asing yang ditawarkan dan disyaratkan oleh Tiongkok kepada negara
peminta dengan “sistem satu paket,” artinya mulai dari top manajemen,
pendanaan, materiil dan mesin, tenaga ahli, bahkan metode dan tenaga
(kuli) kasarnya di-dropping dari Tiongkok . Modus Turnkey Project ini
relatif sukses dijalankan di Afrika sehingga warganya migrasi
besar-besaran bahkan tak sedikit yang menikah dengan penduduk lokal.
Mereka menganggap Afrika kini sebagai tanah airnya kedua. Timor Leste
pun tampaknya demikian, betapa bangunan fisik beberapa kantor
kementerian bermotif ala Tiongkok yang katanya hibah dari pemerintahan
Negeri Tirai Bambu. Makanya Xanana Gusmao ketika menjabat Perdana
Menteri sangat welcome terhadap militer Tiongkok.
Beberapa investasi Tiongkok di Indonesia, sebenarnya telah menerapkan
modus ini. Bukan barang baru memang, karena sejak dulu sudah berjalan.
Penelusuran penulis, Sinar Mas (Indah Kiat) ketika membangun pabrik pulp
dan paper juga menerapkan Turnkey Project. Atau pembangunan pembangkit
tenaga listrik di Purwakarta, hampir semua tenaga kerja mulai dari
direksi hingga kuli bangunan didatangkan dari negeri Tiongkok . Demikian
juga sewaktu pembangunan Lippo Karawachi dekade 1990-an dikerjakan oleh
para pekerja Tiongkok, termasuk di Muara Jawa, Kutai Kertanegara, dan
lain-lain.
Maka boleh ditebak, bahwa (rencana) pembangunan Terusan Brito di
Nikaragua dan Kanal Isthmus di Thailand oleh Cina niscaya menerapkan
Turnkey Project Management pula. Artinya bakal ada migrasi besar-besaran
warga Tiongkok ke Nikaragua dan Thailand guna mengerjakan proyek
spektakuler tersebut sebagaimana yang akan terjadi di Medan, dimana
Tiongkok membawa sekitar 50.000 orang tenaga (warga) kerjanya.
Bila investasinya di Medan saja mendatangkan sekitar 50.000-an orang,
lalu berapa warga lagi bakal migrasi melalui investasi Tiongkok pada 24
pelabuhan laut, 14 pelabuhan udara dan sekitar 8000-an kilometer jalur
kereta api di Indonesia, selain rencana mempererat hubungan bilateral
Tiongkok – Indonesia menargetkan pertukaran sepuluh juta warganya dalam
berbagai bidang pada dekade 2020-an nanti?
Menurut Direktur Institut Ekonomi Politik Soekarno Hatta (IEPSH),
Hatta Taliwang, rencana tersebut berpeluang menimbulkan persaingan
budaya antara warga Tiongkok dengan pribumi. Bisa terjadi pertarungan
untuk mempertahankan siapa lebih dominan, mengingat jumlah 10 juta jiwa
itu bukan sedikit.
Dikhawatirkan hal ini merupakan strategi Tiongkok untuk menguasai
Indonesia secara non militer. Secara perlahan ia memasukkan warganya ke
Indonesia, kemudian mendesak keluar warga pribumi Indonesia pada peran
di sektor-sektor strategis di Indonesia diganti warga Tiongkok. Hingga
akhirnya, pemilik Indonesia bukanlah orang-orang keturunan nusantara,
tetapi adalah orang-orang Tiongkok.
Oleh: Hendrajit, Redaktur Senior Aktual
No comments:
Post a Comment