Pencabutan kartu identitas penduduk yang dikenal sebagai kartu putih
bagi orang Rohingya oleh Pemerintah Myanmar mungkin menjadi salah satu
faktor yang membuat mereka nekat mempertaruhkan nyawa mengarungi laut. Sekitar
300.000 lembar kartu putih, bukti terakhir yang menunjukkan mereka
adalah warga Myanmar, sudah diminta kembali oleh pihak berwenang dan
dinyatakan tidak berlaku sejak 31 Maret lalu.
"Mereka sudah dianggap bukan warga negara, sekarang dokumen tidak
ada," kata Utusan Khusus Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) untuk
Myanmar, Tan Syed Hamid Albar. "Bila tidak ada dokumen dan tidak
ada tempat bagi mereka, bergerak pun tidak boleh. Pergi dari satu tempat
ke tempat lain pun tidak boleh. Ada undang-undang yang menyekat
pergaulan, yang bahkan menyekat cinta. Maka dari itu, mereka akhirnya
mencari jalan," tambah mantan Menteri Luar Negeri Malaysia itu.
Menyusul gelombang kerusuhan, termasuk pada tahun 2012, yang
menewaskan setidaknya 200 orang, mereka ditempatkan di kamp-kamp
pengungsi dan tidak diizinkan bekerja di luar lingkungan tempat
tinggalnya. Pemerintah beralasan, lokalisasi dilakukan untuk melindungi
warga Rohingya dari amukan massa. Tanpa kartu putih, mereka
dikhawatirkan akan ditangkap dan dimasukkan ke penjara menjelang
pemilihan umum Myanmar yang dijadwalkan akan digelar pada
Oktober-November. Demikian penjelasan seorang pemuka masyarakat
Rohingya.
Sumber: National Geographic Indonesia
Menurut laporan Human Rights Watch terdapat
usaha-usaha pemerintah Myanmar untuk membersihkan Myanmar dari etnis
Rohingya. Pemerintah menghancurkan mesjid-mesjid, melakukan kekerasan
massal untuk warga Rohingya dan menolak memberikan bantuan sosial. Pada
tahun 2012 lalu ratusan orang Rohingya terbunuh dan desa-desa tempat
mereka tinggal dibakar habis oleh sekelompok penganut Budha radikal.
Sumber: Selasar Online
No comments:
Post a Comment