Friday 18 September 2015

Bagaimana Kisah Ahmed Mohamed dan Islamophobia di AS

Kasus Ahmed Mohamed, remaja yang sempat diborgol polisi hanya karena memamerkan jam kreasinya di sekolah, menunjukkan masih adanya prasangka negatif masyarakat Amerika Serikat atas umat Muslim di negara itu. Bagaimana Amerika bisa mewujudkan ambisi menjadi negara pengusung demokrasi nomor satu di dunia jika sebagian warganya masih belum jernih melihat bahwa Islam dan Muslim tak identik dengan terorisme? Ironisnya, stigma itu ditunjukkan oleh dua institusi yang sangat berpengaruh dalam masyarakat, yaitu sekolah dan kepolisian.

Ahmed Mohamed, remaja berusia 14 tahun itu datang ke sekolahnya MacArthur, yang terletak di Kota Irving, negara bagian Texas pada Senin pagi, 14 September 2015 dengan penuh semangat. Hatinya membuncah karena berhasil merakit sebuah jam digital dari kotak pensil. Remaja yang bercita-cita menjadi penemu itu begitu bangga dan yakin gurunya akan memberi pujian pada karyanya. Namun bayangannya sirna saat sang guru malah ketakutan dan memanggil polisi.

Ahmed dibawa ke kantor polisi. Ia ditahan selama tiga hari. Setelah serangkaian interogasi, Ahmed akhirnya dibebaskan karena polisi tak bisa menemukan bukti bahwa jam digital yang dibuat Ahmed adalah sebuah bom palsu seperti yang dituduhkan gurunya.

"Saya menciptakan sebuah jam digital untuk membuat terkesan guru saya. Namun saat saya memperlihatkan jam tersebut, guru saya berpikir saya sedang mengancamnya," kata remaja kulit hitam tersebut seperti dikutip dari CNN, Rabu, 16 September 2015.

"Mereka menangkap saya, dan berkata bahwa saya terlibat kejahatan karena membuat bom palsu," katanya menambahkan. Ahmed lalu bercerita, polisi mengantarkan ia hingga ke rumah, namun tak ada permintaan maaf yang mereka sampaikan. Ia juga tak didampingi pengacara selama proses interogasi. Juru bicara Kepolisian wilayah Irving James McLellan, mengaku mengajukan banyak pertanyaan kepada remaja berpostur kurus itu.  "Namun ia tetap menjawab, ia membuat jam. Hanya sebuah jam," katanya.

Ahmed adalah seorang Muslim. Ayahnya, Mohamed Elhassan Mohamed, adalah  imigran dari Sudan. Kepada CNN, Elhassan menyatakan kekecewaannya. Ia mengaku tak segera mendapat pemberitahuan dari sekolah.

"Saya diberitahu oleh sekolah melalui surat elektronik bahwa anak saya ditahan karena merakit bom palsu. Saat saya tiba di kantor polisi, ia dikelilingi lima polisi dengan tangan diborgol. Ahmed mengatakan, ia sudah minta ijin agar bisa menghubungi saya, namun polisi tak mengijinkan karena ia sudah ditahan," ceritanya.

Ayah Ahmed menduga, Ahmed diperlukan seperti itu karena dia adalah Muslim. Ia merakit jam dan gurunya menghubungkan rakitan tersebut dengan bom dan terorisme.

"Kami memang Muslim, tapi kami bukan teroris. Banyak orang berpikir, orang Islam adalah teroris. Tapi kami adalah Muslim yang cinta damai," kata Elhassan menegaskan.

Kasus Ahmed segera terendus publik. Sikap reaktif sang guru dan sekolah MacArthur menimbulkan simpati besar buat remaja berkacamata itu. Tagar #StandWithAhmed  menjadi trending topik di Twitter.

Tak diduga, dukungan mengalir deras. Lebih dari 100.000 pengguna Twitter memberikan dukungan untuk Ahmed. Tak hanya warga biasa, sejumlah selebriti dan tokoh terkenal ikut menulis untuk mendukung Ahmed.

Presiden Amerika Barrack Obama bahkan mengambil keputusan cepat dengan menulis di Twitter. “Jam yang keren, Ahmed. Mau membawanya ke Gedung Putih? Kita harus memberi inspirasi lebih banyak pada anak-anak sepertimu agar mereka menyukai sains. Itu akan membuat Amerika jadi keren,” tulisnya pada 16 September 2015 melalui akun @POTUS.

Obama juga mengundang Ahmed untuk hadir makan malam bersamanya.   Sementara Hillary Clinton menulis, “asumsi tak akan membuat kita selamat. Tetaplah berkarya, Ahmed.” Bahkan Mark Zuckerberg ikut memberikan dukungan. Ia mengatakan, masa depan dunia ada pada orang-orang seperti Ahmed, dan anak itu boleh datang ke Facebook kapan saja ia mau.

Kasus Ahmed berakhir dengan damai, namun ini bukan kasus pertama yang terkait dengan rasa takut pada Islam dan terorisme yang dirasakan oleh warga Amerika Serikat. Jumlah Muslim Amerika yang telah mencapai 2,6 juta jiwa mulai terasa mencemaskan untuk mereka. Muslim dianggap  sebagai pendatang yang semakin kuat menancapkan kukunya.

Bayangan ketakutan itu dimulai sejak terjadinya tragedi peledakan menara WTC, 9 September 2001. Sejak peristiwa peledakan itu, sentimen kebencian terhadap Muslim mulai tumbuh.

Sepanjang tahun 2015, beberapa peristiwa yang mewakili ketakutan itu terjadi di Amerika. Bulan Januari 2015, saat Muslim berkumpul menyatakan duka pada kasus Charlie Hebdo di Prancis, sejumlah massa mengibarkan bendera Amerika dan melambaikan tanda anti Muslim. Bagi warga Amerika yang melakukan aksi tandingan saat itu, Muslim yang berkumpul adalah simbol mereka sedang mengumpulkan kekuatan.

Bulan Februari 2015, tiga bersaudara Muslim tewas ditembak di Chapel Hill, dekat kampus mereka di University of North Carolina. Seorang pria tetangga mereka ditangkap. Polisi mengatakan penembakan itu terjadi karena perselisihan lahan parkir. Namun tak  mudah bagi Muslim Amerika untuk mempercayai penjelasan itu.

Pada awal Maret, seorang pria Irak yang baru saja tiba di Dallas menjadi korban penembakan. Pria yang sedang berpose selfie menikmati salju itu ditembak di kepala dan tewas seketika.

Rasa benci terhadap Muslim di Amerika terus tumbuh dengan berbagai cara, termasuk propaganda melalui iklan di bus kota, bandara, juga sejumlah area publik lainnya.
Pamella Geller adalah seorang wanita yang sering membuat acara yang provokatif dan menimbulkan kebencian pada Muslim. Ia juga terus mencari dukungan agar semakin banyak yang mengikuti pikirannya.

Sebuah tulisan di Vox.com yang dipublikasikan pada Rabu, 16 September 2015, menyebut peran media Amerika yang ikut menyuburkan kebencian itu. Pemberitaan tentang kelompok militan ISIS dengan serangkaian aksi keji yang mereka lakukan, Boko Haram di Nigeria, Taliban di Afghanistan dan Pakistan, membantu menumbuhkan rasa benci itu.

Vox.com juga menulis, sikap anti Muslim di Amerika mulai lepas kontrol. Bahkan film American Sniper, produksi Warner Bros, yang menggambarkan tentang perburuan penjahat perang di Irak, akhirnya mampu menumbuhkan kebencian terhadap Arab, dan Islam. Penggambaran perempuan dan anak-anak dalam film tersebut sebagai bagian dari mata-mata, seperti menggiring penonton untuk melihat, dalam kekerasan yang dilakukan oleh Muslim, bahkan wanita dan anak-anak bisa terlibat.

Kebencian terhadap Muslim dan Islam akhirnya menjadi sikap paradoks masyarakat Amerika Serikat. Di satu sisi mereka terus mengumbar bahwa Amerika adalah negara paling demokratis se dunia. Namun fakta berbicara, mereka terus tumbuh dalam ketakutan dan kecurigaan yang semakin tak terkendali pada Islam.

Jika warga Amerika masih kesulitan memisahkan antara terorisme dan Islam, maka keinginan untuk menjadi negara demokratis nomor satu di dunia itu mungkin masih menjadi mimpi. Amerika,  yang pernah menyebut dirinya sebagai The Global Cop (Polisi Global) masih butuh perjuangan panjang.
Kasus Ahmed bisa jadi bukan kasus terakhir yang merepresentasikan ketakutan dan kebencian mereka pada Muslim. Padahal sejatinya, yang mereka takuti adalah kekerasan dan terorisme, bukan Muslim atau Islam. (ren)

Sumber: Viva Online (18-9-2015)

No comments:

Post a Comment