Monday 5 October 2015

Apa itu Hari Raya Ghadir Khum?

Ghadir [arab: غدير] secara bahasa artinya sungai kecil yang dialiri air. (Mu’jam al-Wasith, 2/200). Sementara Khum [arab: خم] adalah nama sebuah lembah yang banyak pepohonannya jaraknya 3 mil dari arah Juhfah, atau sekitar 250 km di sebelah utara Mekah. Artinya, jarak Khum dengan madinah sekitar 150 km. Gabungan dua kata ini berarti, lembah yang banyak pepohonannya, ada sungai kecil, yang bernama Khum. (Ta’liq shahih Muslim Muhammad Fuad AbdulBaqi, hadis no. 2408).

Disebut hadis Ghadir Khum, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan hadis ini di sebuah ghadir yang bernama Khum. Peristiwa tersebut terjadi pada haji, di sela-sela perjalanan pulang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikan haji wada’. Atau kurang lebih tiga bulan sebelum beliau meninggal dunia.

Tinjauan Hadis Ghadir Khum
Tentang peristiwa ghadir khum disebutkan dalam hadis dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu. Beliau bercerita, Suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di hadapan para sahabat, di pinggir sungai kecil yang bernama Khum. Lembah antara Mekah dan Madinah. Beliau memuji Allah dan memberikan nasehat kepada para sahabat. Kemudian beliau bersabda,

أَمَّا بَعْدُ، أَلَا أَيُّهَا النَّاسُ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ يُوشِكُ أَنْ يَأْتِيَ رَسُولُ رَبِّي فَأُجِيبَ، وَأَنَا تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ: أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ فَخُذُوا بِكِتَابِ اللهِ، وَاسْتَمْسِكُوا بِهِ ” فَحَثَّ عَلَى كِتَابِ اللهِ وَرَغَّبَ فِيهِ، ثُمَّ قَالَ: «وَأَهْلُ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي، أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي، أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي» فَقَالَ لَهُ حُصَيْنٌ: وَمَنْ أَهْلُ بَيْتِهِ؟ يَا زَيْدُ أَلَيْسَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ؟ قَالَ: نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ، وَلَكِنْ أَهْلُ بَيْتِهِ مَنْ حُرِمَ الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ، قَالَ: وَمَنْ هُمْ؟ قَالَ: هُمْ آلُ عَلِيٍّ وَآلُ عَقِيلٍ، وَآلُ جَعْفَرٍ، وَآلُ عَبَّاسٍ قَالَ: كُلُّ هَؤُلَاءِ حُرِمَ الصَّدَقَةَ؟ قَالَ: نَعَمْ

”Ketahuilah wahai manusia, sesungguhnya aku ini manusia biasa. Utusan Rabbku segera datang memanggilku sehingga aku harus memenuhinya. Kutinggalkan pada kalian dua hal yang berharga: pertama adalah kitab Allah, di dalamnya terkandung petunjuk dan cahaya, maka berpegang teguhlah pada kitab Allah sekuat tenaga kalian.”

Zaid melanjutkan, “Lantas beliau menganjurkan agar mempelajari kitab Allah dan mencintainya. Kemudian beliau melanjutkan khutbahnya,

”Dan juga keluargaku. Aku ingatkan kalian untuk takut kepada Allah perihal keluargaku. Aku ingatkan kalian untuk takut kepada Allah perihal keluargaku. (beliau ulangi 3 kali).”

Hushoin bertanya kepada Zaid, bertanya, “Siapakah keluarga Nabi itu, wahai Zaid? Bukankah istri-istri beliau juga termasuk keluarga beliau?” Zaid menjawab, ”Benar. Tetapi keluarga beliau adalah orang-orang yang haram menerima sedekah sepeninggal beliau.”

Ia kembali beranya, ”Siapakah mereka?” Zaid pun menjawab, ”Mereka adalah keluarga Ali, keluarga Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga Abbas.”

Hushoin bertanya lagi, “Apakah mereka semua tidak boleh menerima sedekah?”Zaid menjawab,”Ya.” (HR. Muslim no 2408).

Hadis di atas diriwayatkan oleh Muslim dalam shahihnya, dan kita sepakat untuk menerima dan mengakui hadis ini. Karena itu, ketika syiah mengatakan bahwa kelompok Sunni tidak mengakui hadis ghadir khum, ini jelas tuduhan dusta.

Disamping hadis riwayat Muslim di atas, ada beberapa kalimat tambahan yang disebutkan dalam riwayat lain, diantaranya,

Tambahan pada riwayat Ahmad, Nasai dan Tirmidzi serta lainnya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammenyatakan dalam peristiwa itu,

من كنت مولاه فعلي مولاه

“Siapa yang aku menjadi pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya.” (HR. At-Tirmidzi 3713, Ahmad, 5/374, dan Mustadrak Hakim, 3/110).

Ada juga tambahan lain, dimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan,

اللهم والي من ولاه وعاد من عاداه

”Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya (Ali), musuhilah orang yang memusuhinya.” (HR. )

Ada juga tambahan.”

وانصر من نصره وأخذل من خذله وأدر الحق معه حيث دار

“Bela orang yang membelanya, rendahkanlah orang yang merendahkannya, dan sertakanlah kebenaran bersamanya di manapun dia berada.”

Dari berbagai riwayat hadis tentang ghadir Khum, Dr. Utsman al-Khamis mengklasifikasi hadis ini menjadi empat tingkatan:

1. Hadis riwayat Muslim, yang TIDAK ada kalimat, “Barang siapa yang aku menjadi pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya.”

2. Tambahan yang terdapat pada riwayat Tirmidzi, Ahmad, Nasai dan lainnya, yaitu kalimat, “Barang siapa yanga aku menjadi kekasihnya, maka Ali adalah kekasihnya.”

3. Tambahan yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ahmad, “Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya, musuhilah orang yang memusuhinya.”;

4. Tambahan yang diriwayatkan oleh Thabrani dan lainnya, ” Bela orang yang membelanya, rendahkanlah orang yang merendahkannya, dan sertakanlah kebenaran bersamanya di manapun dia berada.”

Kesimpulan untuk hadis Ghadir Khum dan tambahan riwayatnya,
1. Riwayat yang tercantum dalam Shahih Muslim, kita menerima semua riwayat yang ada dalam Shahih Muslim.

2. Untuk tambahan kedua, hadits tersebut shahih, diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ahmad serta lainnya. Pendapat yang kuat bahwa hadits kedua ini shahih. Meskipun ada sebagian ualama yang mendhaifkannya, diantaranya Ishaq al-Harbi, Syaikhul Islam, Ibnu Hazm, dan yang lainnya.

3. Sementara tambahan yang ketiga, diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian menilainya shahih dan sebagian menilainya dhaif.

4. Sedangkan untuk tambahan yang keempat, itu merupakan kedustaan murni yang dibuat atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Syubuhat Syi’iyah, hlm. 53).
Kesimpulan Syiah dari Hadis Ghadir Khum

Hadis ghadir khum di atas, digunakan orang Syiah sebagai dalih untuk menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, adalah orang yang paling berhak menjadi khilafah sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung. Mereka beralasan, bahwa maksud sabda Nabi “Barang siapa yang aku menjadi pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya” adalah kekasih yang berarti hakim (penguasa) atau khilafah.

Akan tetapi penduduk Madinah yang mendengar hadis ini dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka semua berkhianat. Sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang diangkat menjadi Khalifah adalah Abu Bakr, kemudian Umar, kemudian Utsman, dan baru yang keempat, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhum.

Karena alasan ini, mereka mengkafirkan sahabat Abu Bakr, Umar, Utsman, dan beberapa sahabat senior di Madinah. Mereka dituduh oleh syiah, telah merebut kekuasaan Ali bin Abi Thalib.

Laa haula wa laa quwwata illa billah… sejak kapan sahabat sampai rebutan kekuasaan? Padahal mereka berusaha menolak ketika ditunjuk sebagai khalifah. Lalu dengan logika apa, pernyataan ’Barang siapa yang aku menjadi pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya’ bisa disimpulkan bahwa itu adalah penobatan Ali sebagai khalifah?

Bukankah ini kesimpulan yang terlalu dipaksakan? Allahu a’lam.

Sumber: Ustadz Ammi Nur Baits (Pengasuh KonsultasiSyariah dot com)

No comments:

Post a Comment