Kasus Ahmed Mohamed, remaja yang sempat
diborgol polisi hanya karena memamerkan jam kreasinya di sekolah,
menunjukkan masih adanya prasangka negatif masyarakat Amerika Serikat
atas umat Muslim di negara itu. Bagaimana Amerika bisa mewujudkan ambisi menjadi negara pengusung
demokrasi nomor satu di dunia jika sebagian warganya masih belum jernih
melihat bahwa Islam dan Muslim tak identik dengan terorisme? Ironisnya,
stigma itu ditunjukkan oleh dua institusi yang sangat berpengaruh dalam
masyarakat, yaitu sekolah dan kepolisian.
Ahmed Mohamed, remaja
berusia 14 tahun itu datang ke sekolahnya MacArthur, yang terletak di
Kota Irving, negara bagian Texas pada Senin pagi, 14 September 2015
dengan penuh semangat. Hatinya membuncah karena berhasil merakit sebuah
jam digital dari kotak pensil. Remaja yang bercita-cita menjadi penemu itu begitu bangga dan yakin
gurunya akan memberi pujian pada karyanya. Namun bayangannya sirna saat
sang guru malah ketakutan dan memanggil polisi.
Ahmed dibawa ke
kantor polisi. Ia ditahan selama tiga hari. Setelah serangkaian
interogasi, Ahmed akhirnya dibebaskan karena polisi tak bisa menemukan
bukti bahwa jam digital yang dibuat Ahmed adalah sebuah bom palsu
seperti yang dituduhkan gurunya.
"Saya menciptakan sebuah jam
digital untuk membuat terkesan guru saya. Namun saat saya memperlihatkan
jam tersebut, guru saya berpikir saya sedang mengancamnya," kata remaja
kulit hitam tersebut seperti dikutip dari CNN, Rabu, 16 September 2015.
"Mereka
menangkap saya, dan berkata bahwa saya terlibat kejahatan karena
membuat bom palsu," katanya menambahkan. Ahmed lalu bercerita, polisi
mengantarkan ia hingga ke rumah, namun tak ada permintaan maaf yang
mereka sampaikan. Ia juga tak didampingi pengacara selama proses
interogasi. Juru bicara Kepolisian wilayah Irving James McLellan,
mengaku mengajukan banyak pertanyaan kepada remaja berpostur kurus
itu. "Namun ia tetap menjawab, ia membuat jam. Hanya sebuah jam,"
katanya.
Ahmed adalah seorang Muslim. Ayahnya, Mohamed Elhassan Mohamed, adalah imigran dari Sudan. Kepada CNN, Elhassan menyatakan kekecewaannya. Ia mengaku tak segera mendapat pemberitahuan dari sekolah.
"Saya
diberitahu oleh sekolah melalui surat elektronik bahwa anak saya
ditahan karena merakit bom palsu. Saat saya tiba di kantor polisi, ia
dikelilingi lima polisi dengan tangan diborgol. Ahmed mengatakan, ia
sudah minta ijin agar bisa menghubungi saya, namun polisi tak
mengijinkan karena ia sudah ditahan," ceritanya.
Ayah Ahmed
menduga, Ahmed diperlukan seperti itu karena dia adalah Muslim. Ia
merakit jam dan gurunya menghubungkan rakitan tersebut dengan bom dan
terorisme.
"Kami memang Muslim, tapi kami bukan teroris. Banyak
orang berpikir, orang Islam adalah teroris. Tapi kami adalah Muslim yang
cinta damai," kata Elhassan menegaskan.
Kasus Ahmed segera
terendus publik. Sikap reaktif sang guru dan sekolah MacArthur
menimbulkan simpati besar buat remaja berkacamata itu. Tagar #StandWithAhmed menjadi trending topik di Twitter.
Tak
diduga, dukungan mengalir deras. Lebih dari 100.000 pengguna Twitter
memberikan dukungan untuk Ahmed. Tak hanya warga biasa, sejumlah
selebriti dan tokoh terkenal ikut menulis untuk mendukung Ahmed.
Presiden
Amerika Barrack Obama bahkan mengambil keputusan cepat dengan menulis
di Twitter. “Jam yang keren, Ahmed. Mau membawanya ke Gedung Putih? Kita
harus memberi inspirasi lebih banyak pada anak-anak sepertimu agar
mereka menyukai sains. Itu akan membuat Amerika jadi keren,” tulisnya
pada 16 September 2015 melalui akun @POTUS.
Obama juga mengundang
Ahmed untuk hadir makan malam bersamanya. Sementara Hillary Clinton
menulis, “asumsi tak akan membuat kita selamat. Tetaplah berkarya,
Ahmed.” Bahkan Mark Zuckerberg ikut memberikan dukungan. Ia mengatakan,
masa depan dunia ada pada orang-orang seperti Ahmed, dan anak itu boleh
datang ke Facebook kapan saja ia mau.
Kasus Ahmed berakhir dengan
damai, namun ini bukan kasus pertama yang terkait dengan rasa takut
pada Islam dan terorisme yang dirasakan oleh warga Amerika Serikat.
Jumlah Muslim Amerika yang telah mencapai 2,6 juta jiwa mulai terasa
mencemaskan untuk mereka. Muslim dianggap sebagai pendatang yang
semakin kuat menancapkan kukunya.
Bayangan ketakutan itu dimulai
sejak terjadinya tragedi peledakan menara WTC, 9 September 2001. Sejak
peristiwa peledakan itu, sentimen kebencian terhadap Muslim mulai
tumbuh.
Sepanjang tahun 2015, beberapa peristiwa yang mewakili
ketakutan itu terjadi di Amerika. Bulan Januari 2015, saat Muslim
berkumpul menyatakan duka pada kasus Charlie Hebdo di Prancis, sejumlah
massa mengibarkan bendera Amerika dan melambaikan tanda anti Muslim.
Bagi warga Amerika yang melakukan aksi tandingan saat itu, Muslim yang
berkumpul adalah simbol mereka sedang mengumpulkan kekuatan.
Bulan
Februari 2015, tiga bersaudara Muslim tewas ditembak di Chapel Hill,
dekat kampus mereka di University of North Carolina. Seorang pria
tetangga mereka ditangkap. Polisi mengatakan penembakan itu terjadi
karena perselisihan lahan parkir. Namun tak mudah bagi Muslim Amerika
untuk mempercayai penjelasan itu.
Pada awal Maret, seorang pria
Irak yang baru saja tiba di Dallas menjadi korban penembakan. Pria yang
sedang berpose selfie menikmati salju itu ditembak di kepala dan tewas
seketika.
Rasa benci terhadap Muslim di Amerika terus tumbuh
dengan berbagai cara, termasuk propaganda melalui iklan di bus kota,
bandara, juga sejumlah area publik lainnya.
Pamella Geller adalah seorang wanita yang sering membuat acara yang
provokatif dan menimbulkan kebencian pada Muslim. Ia juga terus mencari
dukungan agar semakin banyak yang mengikuti pikirannya.
Sebuah
tulisan di Vox.com yang dipublikasikan pada Rabu, 16 September 2015,
menyebut peran media Amerika yang ikut menyuburkan kebencian itu.
Pemberitaan tentang kelompok militan ISIS dengan serangkaian aksi keji
yang mereka lakukan, Boko Haram di Nigeria, Taliban di Afghanistan dan
Pakistan, membantu menumbuhkan rasa benci itu.
Vox.com juga menulis, sikap anti Muslim di Amerika mulai lepas kontrol. Bahkan film American Sniper, produksi Warner Bros,
yang menggambarkan tentang perburuan penjahat perang di Irak, akhirnya
mampu menumbuhkan kebencian terhadap Arab, dan Islam. Penggambaran
perempuan dan anak-anak dalam film tersebut sebagai bagian dari
mata-mata, seperti menggiring penonton untuk melihat, dalam kekerasan
yang dilakukan oleh Muslim, bahkan wanita dan anak-anak bisa terlibat.
Kebencian
terhadap Muslim dan Islam akhirnya menjadi sikap paradoks masyarakat
Amerika Serikat. Di satu sisi mereka terus mengumbar bahwa Amerika
adalah negara paling demokratis se dunia. Namun fakta berbicara, mereka
terus tumbuh dalam ketakutan dan kecurigaan yang semakin tak terkendali
pada Islam.
Jika warga Amerika masih kesulitan memisahkan antara
terorisme dan Islam, maka keinginan untuk menjadi negara demokratis
nomor satu di dunia itu mungkin masih menjadi mimpi. Amerika, yang
pernah menyebut dirinya sebagai The Global Cop (Polisi Global) masih
butuh perjuangan panjang.
Kasus Ahmed bisa jadi bukan kasus terakhir yang merepresentasikan
ketakutan dan kebencian mereka pada Muslim. Padahal sejatinya, yang
mereka takuti adalah kekerasan dan terorisme, bukan Muslim atau Islam.
(ren)
Sumber: Viva Online (18-9-2015)
No comments:
Post a Comment