Ahli hukum pidana yang menjadi salah seorang konseptor banyak sekali
undang-undang, termasuk Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), bicara blak-blakan tentang mega-korupsi yang terjadi di negara
ini, termasuk yang bersinggungan dengan komisioner. Belakangan, Romli
memang gencar mempromosikan terbentuknya Forum Pemantau KPK. Ia juga
termasuk ahli hukum yang menyetujui Undang-Undang KPK direvisi. “Memang
perlu direvisi, perlu ada dewan pengawas, perlu ada kontrol,” kata Romli
di kantornya di Jakarta, Selasa lalu (4/8).
Romli sendiri pernah menjadi Ketua Tim Perumus Undang-Undang Tindak
Pidana Korupsi (Tipikor), Ketua Tim Perumus Undang-Undang KPK, dan Ketua
Panitis Seleksi Calom Pimpinan KPK. Ia juga menjadi Ketua Delegasi RI
untuk The United Nations Convention against Transnational Organized
Crime (UNTOC) dan The United Nations Convention against Corruption
(UNCAC) serta terlibat dalam penyusunan lebih dari 100 undang-undang.
Salah satu bau busuk yang diungkap Romli terkait temuan Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap KPK tahun 2013, yang menyangkut sektor
hulu minyak dan gas (migas). KPK mengatakan, dari tahun 2009 sampai
2013 telah menyelamatkan keuangan negara sebesar Rp 205 triliun.
“KPK mengatakan ke BPK bahwa KPK menyelamatkan keuangan negara yang
berasal dari fungsi pencegahan KPK yang dimiliki pada sektor hulu migas.
Setelah saya baca dengan teliti dan saya buka lagi Undang-Undang KPK
yang saya buat, pencegahan itu tidak ada. Dalam Undang-Undang KPK,
pencegahan yang tujuannya untuk recovery tidak ada. Recovery
itu kalau sudah ada penindakan, kalau sudah dituntut, dipidana, lalu
uang dipulangkan. Makanya, Pasal 4 Undang-Undang Tipikor, mengatakan,
mengembalikan uang negara tidak menghapus penuntutan. Undang-undang itu
sudah keras. Itu namanya pencegahan. Berarti di sini KPK sudah melanggar
undang-undangnya sendiri tentang pencegahan. Itu yang pertama,”
katanya.
Yang kedua, tambahnya, soal nilainya yang sangat luar biasa
fantastis. “Tapi, apa yang dikembalikan itu ternyata ada ‘pajak yang
tertunggak’ selama waktu 2009-2013. Bahasa ‘pajak tertunggak’ itu tidak
ada. Yang ada itu adalah pajak terutang atau kurang bayar,” ujarnya.
Bahkan, Romli sampai bertanya ke ahli pajak soal istilah yang
digunakan KPK itu. “Ternyata, saya tanya ke ahli pajak, bahasa itu tidak
ada. Itu hanya buatan KPK saja, semau-maunya KPK,” kata Romli.
Bukan hanya itu, tambahnya, wajib pajak yang mengutang selama lima
tahun pun dibiarkan saja, tidak ditagih dan tidak dikenakan tindak
pidana. “Terus dikatakan ada penyimpangan alokasi migas atau penempatan
dana yang tidak betul sebesar US$ 7.000, tapi lima tahun tidak
diapa-apakan. Pertanyaan saya ke BPK, kenapa ini didiamkan dan malah
dianggap menyelamatkan? Kalau seperti ini, para pelaku korupsi sektor
migas aman tenteram di bawah KPK. Dan setelah saya amati dan cermati,
KPK hampir tidak pernah mengutak-atik kasus korupsi migas sampai serius
selama berdiri.
Begitupun dengan ICW [Indonesia Corruption Watch]. Lalu,
bagaimana supaya KPK terlihat ada upaya menangani kasus korupsi di
sektor migas? Dimunculkanlah Rudi Rubiandini [mantan Kepala SKK Migas].
Seolah, Rudi hanya sebagai sampel, ketimbang tidak ada sama sekali di
sektor migas. Rudi ditangkap, tapi mafia migas tetap jalan. Nah, itu
yang Rp 205 triliun,” ungkap Romli.
Soal ICW, Romli juga mengaku memiliki catatan. “Asosiasi migas internasional nyumbang ke ICW setiap tahun. Terus ada dana yang tidak terikat sebesar Rp 2 miliar yang didapat ICW setiap tahun. Gimana
negeri ini tidak kacau, politisi dan pemerintah juga menggunakan mereka
sebagai alat. Enggak ada yang istikomah dan yang amanah. Semuanya
seolah ‘kumaha aing’ [bagimana saya saja],” ujarnya.
Menurut catatan yang dimiliki Romli, ICW dari tahun 2005 sampai 2014
mendapatkan dana hibah dari sekitar 54 penghibah asing. “Totalnya
sekitar Rp 68 miliar koma sekian. Dan untuk dana penerimaan tidak
terikat, totalnya Rp 23 miliar koma sekian. Totalnya jadi sekitar Rp 90
miliar. Buat apa LSM [lembaga swadaya masyarakat] punya uang sebanyak
itu? KPK saja bantuannya ke ICW ada sekitar 75%. Perguruan tinggi yang
dibantu KPK hanya dua, Universitas Indonesia dan Universitas Islam
Indonesia-Yogyakarta, tempat Mahfud MD. Makanya, Mahfud dan Imam
Prasodjo dari Universitas Indonesia seolah keras membela KPK. Ternyata
memang ada yang menggunakan mereka sebagai alat,” kata Romli.
Romli juga kemudian mengungkapkan bagaimana proses mantan Ketua BPK
Hadi Poernomo dijadikan tersangka oleh penyidik KPK dan bagaimana pihak
KPK berkeras untuk menentang pemeriksaan KPK oleh BPK. Ikuti pemaparan
Romli terkait hal itu pada bagian selanjutnya.
Sumber: Pribuminews Online
No comments:
Post a Comment