Menanggapi Tulisan KH. Ma’ruf Amin (Rais Aam Syuriyah PBNU )
Sejak menjelang Muktamar NU 2015 kemarin, para kiai dikejutkan
dengan istilah baru yang dideklarasikan oleh Ketua Umum PBNU, Said Agil
Siraj, yaitu istilah Islam Nusantara. Tak ayal, mayoritas kiai
nahdliyyin di Indonesia menolak dan menyangsikan istilah baru tersebut.
Akan tetapi, PBNU pada waktu itu terus menggelindingkan istilah Islam
Nusantara, dengan mengabaikan respon dan penolakan dari banyak kiai.
Banyaknya penolakan terhadap Islam Nusantara, dapat penulis rasakan
ketika mengisi acara seminar nasional Pemantapan Ahlussunnah Wal-Jama’ah
di UNWAHA (Universitas Wahab Hasbullah), di Pondok Pesantren Bahrul
Ulum, Tambak Beras, hari Jum’at 31 Juli, sehari sebelum muktamar
beberapa waktu yang lalu. Setelah muktamar “selesai”, ternyata istilah
Islam Nusantara dideklarasikan secara resmi oleh yang terpilih sebagai
Rais Aam PBNU, KH Ma’ruf Amin (KHMA). Mengingat banyaknya kerancuan, dan
ketidak pahaman para pengusung Islam Nusantara tersebut, penulis merasa
perlu untuk menanggapi tulisan KH Ma’ruf Amin tersebut, yang dimuat
harian Kompas, 29 Agustus 2015, beberapa hari yang lalu. Ada beberapa alasan, mengapa deklarasi Islam Nusantara sulit diterima;
1. NUSANTARA ADALAH ISTILAH PRA-ISLAM
Sebagaimana dimaklumi, istilah nusantara merupakan istilah yang
digunakan oleh masyarakat sebelum datangnya Islam di Indonesia. Dalam
catatan sejarah, istilah nusantara dideklarasikan oleh Patih Gajah Mada,
setelah diangkat sebagai Amangkubhumi di Kerajaan Majapahit. Dalam
bahasa agama, istilah nusantara adalah istilah Jahiliah, yaitu istilah
yang digunakan oleh masyarakat kita sebelum masuknya Islam ke Indonesia.
Berkaitan dengan konteks ini, Islam mencela untuk mengajak atau
menyerukan pada suatu istilah dan slogan yang digunakan oleh orang-orang
Jahiliah.
عَنْ أُبَيٍّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «مَنْ تَعَزَّى بِعَزَاءِ
الْجَاهِلِيَّةِ فَأَعِضُّوهُ وَلاَ تَكْنُوهُ» رواه أحمد والبخاري في
الأدب المفرد
Ubai bin Ka’ab berkata: “Aku mendengar Nabi Saw bersabda:
“Barangsiapa menisbatkan dirinya kepada seruan Jahiliah, maka suruhlah
ia menggigit penis ayahnya, dan janganlah mengatakannya dengan bahasa
sindiran.” (HR Ahmad [21234], dan al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad
[963]).
Hadits tersebut memberikan pesan, bahwa orang yang menisbatkan
dirinya kepada seruan Jahiliah, seperti seruan berdasarkan kesukuan,
golongan, teritorial dan kedaerahan, haruslah dimaki-maki dengan disuruh
menggigit penis ayahnya dengan bahasa yang tabu. Demikian penjelasan
al-Munawi dalam Faidh al-Qadir Syarh al-Jami’ al-Shaghir (juz 1 hlm
357). Seruan yang dilarang tersebut adalah seruan yang bertujuan
memamerkan kehebatan dan keberanian golongannya. Tindakan semacam ini
juga diperintahkan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab:
عَنْ أَبِي مِجْلَزٍ، قَالَ: قَالَ عُمَرُ: «مَنِ اعْتَزَّ
بِالْقَبَائِلِ فَأَعِضُّوهُ أَوْ فََأَمِصُّوْهُ». رواه ابن أبي شيبة في
المصنف
Abu Mijlaz berkata: “Umar berkata: “Barangsiapa yang
membangga-banggakan kesukuannya, maka suruhlah ia menggigit atau
mengecup penis ayahnya.” (HR Ibnu Abi Syaibah, [37184]).
عَنْ طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ كُرَيْزٍ، قَالَ: كَتَبَ
عُمَرُ إِلَى أُمَرَاءِ اْلأَجْنَادِ: «إِذَا تَدَاعَتِ الْقَبَائِلُ
فَاضْرِبُوهُمْ بِالسَّيْفِ حَتَّى يَصِيرُوا إِلَى دَعْوَةِ اْلإِسْلاَمِ»
Thalhah bin Ubdaidillah bin Kuraiz berkata: “Khalifah Umar telah
mengirim surat kepada para perwira tentara: “Apabila suku-suku saling
berseru pada kesukuannya, maka pukullah mereka dengan pedang, sehingga
mereka kembali pada seruan Islam”. (HR Ibnu Abi Syaibah, [37185]).
عَنْ أَبِي عُقْبَةَ، وَكَانَ مَوْلًى مِنْ أَهْلِ فَارِسَ، قَالَ:
شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُحُدًا،
فَضَرَبْتُ رَجُلاً مِنَ الْمُشْرِكِينَ، فَقُلْتُ: خُذْهَا مِنِّي وَأَنَا
الْغُلاَمُ الْفَارِسِيُّ، فَالْتَفَتَ إِلَيَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: «فَهَلاَّ قُلْتَ خُذْهَا مِنِّي،
وَأَنَا الْغُلاَمُ اْلأَنْصَارِيُّ» رواه ابو داود وابن ماجه
Abu Uqbah, seorang maula (budak) dari ras Persia, berkata: “Aku
mengikuti peperangan Uhud bersama Rasulullah Saw. Lalu aku memukul
seorang laki-laki musyrik. Aku berkata: “Terimalah pukulan ini dariku.
Akulah pemuda Persia.” Lalu Rasulullah Saw menoleh kepadaku, seraya
bersabda: “Mengapa kamu tidak berkata: “Terimalah pukulan ini dariku.
Akulah pemuda Anshar.” (HR Abu Dawud [5123], dan Ibnu Majah [2784]).
Dalam hadits tersebut diterangkan, seorang pemuda dari Persia
mengikuti peperangan Uhud bersama Rasulullah Saw. Ia memukul seorang
laki-laki musyrik. Tentu pukulan tersebut sangat berharga dalam
pandangan agama. Ketika ia memukul seorang laki-laki musyrik tadi,
dengan bangganya ia berkata, “Terimalah pukulan ini dariku, seorang
pemuda Persia”. Mendengar ucapan pemuda tersebut, dengan halus
Rasulullah Saw menegurnya, “Mengapa tidak kamu katakan, “Pukulan dari
pemuda kaum Anshar”. Karena laki-laki tersebut termasuk budak yang
dimerdekakan sahabat Anshar. Rasulullah Saw melarang menisbatkan
kebanggaannya kepada Persia, negeri Jahiliah pada saat itu. Beliau
justru memerintahkannya, agar menisbatkan pukulannya kepada kaum Anshar,
keluarga majikannya. Gelar dan afiliasi Anshar adalah kebangaan yang
diakui dalam al-Qur’an. Tidak demikian halnya dengan Persia yang
Jahiliah pada saat itu. Mengomentari hadits tersebut, Syaikh Abdul Ghani
al-Mujaddidi al-Dahlawi berkata:
قَدْ عُلِمَ مِنْ هَذَا اَنَّ اْلاِنْتِسَابَ اِلَى
الْجَاهِلِيَّةِ غَيْرُ مَحْمُوْدٍ فَإِنَّ أَهْلَ فَارِسَ كَانُوْا
مُشْرِكِيْنَ وَاْلأَنْصَارُ شِعَارُ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ
سَلَّمَ فَيَنْبَغِيْ لِكُلِّ مُسْلِمٍ اَنْ لاَ يَفْتَخِرَ بِأَهْلِ
الْجَاهِلِيَّةِ
Telah diketahui dari hadits ini, bahwa menisbatkan diri kepada
perkara Jahiliah tidaklah terpuji. Karena penduduk Persia adalah
orang-orang musyrik. Sedangkan Anshar adalah slogan Nabi Saw. Maka
sebaiknya setiap Muslim tidak berbangga dengan kaum Jahiliah. (Syaikh
Abdul Ghani al-Mujaddidi al-Dahlawi, Injah al-Hajah juz 1 hlm 200).
Nahdlatul Ulama ketika menamakan salah satu Badan Otonominya
dengan nama Gerakan Pemuda Anshar, maka sangat tepat, karena memang
sangat islami. Tetapi ketika mendeklarasikan gerakan barunya dengan nama
Islam Nusantara, justru tidak tepat, karena nusantara adalah istilah
pra-Islam (Jahiliah) yang dipopulerkan oleh Patih Gajah Mada pada masa
kejayaan Majapahit yang beragama Hindu. Al-Imam Ibnu al-Mulaqqin, ketika
mengomentari hadits tentang seruan kaum Jahiliah berkata:
وَقَوْلُهُ: (“مَا بَالُ دَعْوَى أَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ؟ “)
يَقُوْلُ: لاَ تَدَاعَوْا بِالْقَبَائِلِ وَلاَ
بِاْلأَحْرَارِ، وَتَدَاعَوْا بِدَعْوَةٍ وَاحِدَةٍ بِاْلإِسْلاَمِ.
Sabda Nabi Saw: “Ada apa melakukan seruan kaum Jahiliah?”
Maksudnya: “Janganlah kalian saling berseru atas nama suku dan golongan
orang-orang yang merdeka. Berserulah dengan satu seruan, yaitu Islam.
(Ibnu al-Mulaqqin, al-Taudhih li-Syarh al-Jami’ al-Shahih, juz 20 hlm
68).
Pernyataan Ibnu al-Mulaqqin tersebut didasarkan pada hadits shahih berikut ini:
عَنِ الْحَارِثِ اْلأَشْعَرِيِّ، أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَمَنْ دَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ، فَهُوَ
مِنْ جُثَاءِ جَهَنَّمَ ” قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، وَإِنْ صَامَ،
وَإِنْ صَلَّى ؟ قَالَ: ” وَإِنْ صَامَ، وَإِنْ صَلَّى، وَزَعَمَ أَنَّهُ
مُسْلِمٌ، فَادْعُوا الْمُسْلِمِينَ بِأَسْمَائِهِمْ بِمَا سَمَّاهُمُ
اللهُ عَزَّ وَجَلَّ الْمُسْلِمِينَ
الْمُؤْمِنِينَ عِبَادَ اللهِ عَزَّ
وَجَلَّ. رواه أحمد
Dari al-Harits al-Asy’ari, bahwa Nabi Saw bersabda: “Barangsiapa
yang berseru dengan seruan kaum Jahiliah, maka ia termasuk penghuni
Jahannam.” Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, meskipun orang tersebut
berpuasa dan shalat?” Beliau menjawab: “Meskipun ia berpuasa, shalat dan
mengaku dirinya Muslim. Serulah kaum Muslimin dengan nama-nama mereka,
dengan nama yang Allah berikan kepada mereka, yaitu orang-orang Islam,
orang-orang beriman dan hamba-hamba Allah.” (HR Ahmad [17170]).
Kesimpulan dari paparan di atas, penyematan nama Nusantara
terhadap Islam adalah penyematan nama Jahiliah yang tidak baik terhadap
nama Islam yang sudah baik. Hal tersebut, tentu tidak etis dan harus
kita jauhi.
2. ISTILAH ISLAM NUSANTARA TIDAK DIPERLUKAN
Kalau ada yang bertanya, perlukah kita mengusung istilah Islam
Nusantara? Menjawab pertanyaan ini, KH Ma’ruf Amin menulis dalam
artikelnya sebagai berikut:
“Sebagai tema Muktamar NU 2015 di Jombang yang digelar beberapa
waktu lalu, Islam Nusantara memang baru dideklarasikan.Namun, sebagai
pemikiran, gerakan, dan tindakan, Islam Nusantara bukanlah hal baru bagi
kita. Islam Nusantara adalah Islam Ahlussunnah Waljamaah
al-Nadliyyah.”
Pernyataan KHMA di atas memberikan kesimpulan bahwa Islam
Nusantara memang baru dideklarasikan. Tetapi sebagai pemikiran, gerakan
dan tindakan, Islam Nusantara bukanlah hal baru bagi kita. Islam
Nusantara adalah Islam Ahlussunnah Waljamaah al-Nadliyyah. Nah, apabila
KHMA mengakui bahwa Islam Nusantara memang Islam Ahlussunnah Waljamaah
al-Nahdliyyah, berarti keberadaan Islam Nusantara sangat tidak
diperlukan. Hal ini terbukti, bahwa sejak sebelum munculnya istilah
Islam Nusantara, Islam Ahlussunnah Waljamaah telah berjalan dengan baik.
Kalau Islam Nusantara memang tidak diperlukan, maka seharusnya orang
yang berakal sehat meninggalkannya, apalagi banyak kiai yang tidak
menyetujuinya. Dalam hadits shahih, Rasulullah Saw bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ
يَعْنِيهِ. رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَغَيْرُهُ
“Abu Hurairah berkata: “Rasulullah Saw bersabda: “Termasuk
kebaikan keislaman seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak
berguna.” (HR al-Tirmidzi dan lain-lain).
3. ISTILAH ISLAM NUSANTARA MENGABURKAN ASWAJA
Konsep Islam Nusantara adalah konsep yang mengaburkan Ahlussunnah
Wal-Jamaah bagi warga nahdliyyin. Mengapa demikian? KHMA berkata:
“Mengapa di sini perlu penyifatan al-Nahdliyyah? Jawabnya adalah
karena banyak kalangan lain di luar NU yang juga mengklaim sebagai
pengikut Ahlussunnah Waljamaah (disingkat Aswaja), tetapi memiliki cara
pikir, gerakan, dan amalan yang berbeda dengan NU.”
Sebenarnya penyifatan al-Nahdliyyah ini datang kemudian yaitu
pada MUNAS NU tahun 2006 di Surabaya. Pada masa-masa sebelumnya, tidak
dikenal penyifatan al-Nahdliyyah. Menurut hemat penulis penyifatan
tersebut justru tidak perlu. Mengapa tidak perlu? Sebagaimana dimaklumi,
bahwa Aswaja yang diikuti oleh NU adalah Asy’ariyah-Maturidiyah.
Sedangkan Asy’ariyah-Maturidiyah tidak hanya diikuti oleh NU. Bahkan
beberapa Ormas keagamaan di Indonesia, seperti Nahdlatul Wathan di NTB,
PERTI di Sumatera Barat, Washliyah di Sumatera Utara dan lain-lain, juga
mengikuti Asy’ariyah-Maturidiyah. Dengan demikian penyifatan
al-Nahdliyyah berarti tidak sesuai dengan kenyataan. Karena Aswaja yang
sama tidak hanya diikuti oleh NU.
Atau istilah al-Nahdliyyah tersebut sebagai respon damai terhadap
kaum Wahabi yang juga mengklaim sebagai Ahlussunnah Waljamaah. Maka
penyifatan al-Nahdliyyah, berarti pengakuan terhadap eksistensi Wahabi
sebagai bagian dari Ahlussunnah Wal-Jamaah, dan hal ini berarti
bertentangan dengan kitab-kitab mu’tabaroh yang menjadi rujukan NU, yang
menegaskan bahwa Wahabi bukan Ahlussunnah Waljamaah. Wahabi menganggap
Asy’ariyah-Maturidiyah bukan Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
Asy’ariyah-Maturidiyah menganggap Wahabi juga bukan Ahlussunnah
Wal-Jama’ah. Pengakuan NU terhadap Wahabi sebagai Aswaja, tentu
menimbulkan kerancuan.
4. KONSEP ISLAM NUSANTARA ASAL-ASALAN
Ketika menjelaskan tiga pilar Islam Nusantara, KH Ma’ruf Amin berkata:
“Pilar pertama, pemikiran, meliputi cara berpikir yang moderat
(tawassuth). Artinya, Islam Nusantara berada dalam posisi yang tidak
tekstualis, tetapi juga tidak liberal. Tekstualis dimaksud adalah
berpikir secara kaku pada nash (al-jumûd al-manqûlãt) sebagaimana yang
terjadi pada kaum Wahabi di dalam memahami teks-teks Al Quran. Salah
satu pernyataan Imam al-Qarafi, ulama ahli usul fikih, menyatakan jika
”al-jumûd ‘alã al-manqûlãt abadan dalãl fi al-din wa jahl bi
maqasidihi”, pembacaan yang statis (tanpa tafsir) penafsiran pada
hal-hal yang dalil-dalil yang selamanya adalah kesesatan di dalam agama
dan kebodohan tentang maksud-maksud agama. Liberal dimaksud adalah cara
berpikir yang bebas tanpa mengindahkan metodologi yang disepakati di
kalangan ulama yang dijadikan pegangan berpikir di kalangan NU.”
Dalam pernyataan di atas ada beberapa kerancuan Islam Nusantara
yang perlu diluruskan. Pertama, KHMA menguraikan pilar pertama Islam
Nusantara yang meliputi cara berpikir yang moderat (tawassuth). Lalu
beliau memberikan syarh terhadap maksud moderat tersebut dengan
penjelasan:
“Artinya, Islam Nusantara berada dalam posisi yang tidak tekstualis, tetapi juga tidak liberal.”
Tentu syarh yang beliau sampaikan di atas tidak tepat. Mengapa
tidak tepat? Ketika kita berbicara tentang konsep general suatu gerakan
pemikiran, katakanlah gerakan pemikiran Islam Nusantara yang diklaim
sebagai Islam Ahlussunnah Wal-Jamaah, maka konsep yang di gulirkan
haruslah juga bersifat general dan komprehensif. Maka, berbicara
Ahlussunnah Wal-Jamaah secara pemikiran, berarti pembicaraan paling
pokok adalah menyangkut akidah. Sedangkan pembicaraan berkaitan dengan
akidah, kerangka pemikian yang ditetapkan oleh para ulama Ahlussunnah
Wal-Jamaah ada yang tekstualis dan ada yang tidak tekstualis. Sementara
kerangka pemikiran Islam Nusantara terkesan semuanya tidak tekstualis.
Lalu dikatakan tidak liberal. Padahal yang menolak pemahaman tekstualis
secara general justru yang liberal. Ini namanya konsep asal-asalan.
Dalam memahami teks-teks al-Qur’an dan hadits, ada yang harus
dipahami secara tekstual dan ada yang harus dipahami secara tidak
tekstual. Al-Imam Abu Amr al-Dani al-Asy’ari al-Maliki (371-440
H/981-1053 M) berkata:
وَالْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ عَلىَ ظَاهِرِهِمَا،
وَعُمُوْمِهِمَا إِلاَّ مَا خَصَّهُ الرَّسُوْلُ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِبَيَانٍ أَوْ خَبَرٍ، أَوْ فَسَّر مُشْكِلَهُ، أَوْ أَعْلَمَ
بِمَنْسُوْخِهِ، أَوْ وُقِفَ عَلىَ نَاسِخِهِ، أَوْ قَامَ الدَّلِيْلُ
عَلىَ ذَلِكَ مِنْ سُنَّةٍ أَوْ إِجْمَاعٍ، فَإِذَا أَعْلَمَ الرَّسُوْلُ
صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَلِكَ، أَوْ عُلِمَ مِنْ إِحْدَى
هَذِهِ الْجِهَاتِ الَّتِيْ تَقُوْمُ بِهَا الْحُجَّةُ، لَمْ يُرَدَّ عَامٌ
مِنْهُ إِلىَ خَاصٍّ، وَلاَ خَاصٍّ مِنْهُ إِلىَ عَامٍّ.
Al-Qur’an dan Sunnah mengikuti arti literal (tekstual)nya dan
keumuman (general)nya, kecuali teks yang dibatasi oleh Rasul Saw dengan
penjelasan atau informasi, atau dijelaskan kemusykilannya, atau
diberitahukan teks yang dinasakh darinya, atau diketahui teks yang
menasakhnya atau ada dalil atas hal tersebut dari sunnah dan ijma’. Maka
apabila Rasul Saw memberitahukan hal tersebut, atau hal itu diketahui
dari salah satu arah tadi yang dapat menjadi hujjah, maka teks yang umum
tidak bisa dikembalikan kepada yang khusus, dan yang khusus tidak bisa
dikembalikan kepada yang umum. (Al-Dani, al-Risalah al-Wafiyah, hlm
141).
Al-Imam Abu Amr al-Dani, adalah seorang ulama terkemuka madzhab
al-Asy’ari, dan murid al-Imam Abu Bakar bin al-Thayyib al-Baqillani.
Dalam bagian lain kitab yang sama, al-Dani berkata:
وَكُلُّ مَا قَالَهُ اللهُ تَعَالَى، فَعَلىَ الْحَقِيْقَةِ، لاَ
عَلىَ الْمَجَازِ، إِلاَّ أَنْ تَتَّفِقَ اْلأُمَّةُ عَلىَ أَنَّ شَيْئاً
مِنْهُ عَلىَ الْمَجَازِ كَقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ}
يُرِيْدُ أَهْلَهَا. فَأَمَّا قَوْلُهُ: {وَكَلَّمَ اللهُ مُوْسَى
تَكْلِيْمًا} ، وَقَوْلُهُ: {وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ}
{وَقُلْنَا يَا آَدَمُ} وَشِبْهُ ذَلِكَ فَعَلىَ الْحَقِيْقَةِ، لاَ عَلىَ
الْمَجَازِ.
Semua yang difirmankan oleh Allah Swt, maka diartikan secara
hakiki (tekstual), tidak secara majazil (metafor atau kontekstual).
Kecuali apabila para ulama bersepakat bahwa sesuatu dari firman tersebut
diartikan secara majaz (metafor), seperti firman Allah “Bertanyalah ke
desa itu”, maksudnya penduduk desa. Adapun firman Allah: “Dan Allah
telah berbicara kepada Musa dengan langsung.”, dan firman-Nya, “Dan
ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat”, “Kami berfirman, hai
Adam”, dan yang serupa dengan firman-firman tersebut, maka diartikan
secara hakiki, tidak secara majaz. (Al-Dani, al-Risalah al-Wafiyah, hlm
143).
Pernyataan al-Imam al-Dani di atas, menegaskan bahwa semua ayat
al-Qur’an harus diartikan secara tekstual, kecuali ayat-ayat yang
disepakati oleh para ulama harus diartikan secara kontekstual (majazi)
atau tidak tekstual. Apabila kaedah Islam Nusantara di atas, yang mengartikan agama
secara tidak tekstual diterima secara general, maka berarti Islam
Nusantara bukan Ahlussunnah Wal-Jamaah lagi. Akan tetapi adakalanya
bagian dari liberal atau bagian dari aliran kebatinan, sebagaimana yang
telah kita maklumi.
Kedua, kerancuan lain pada syarh di atas juga terletak pada komentar KH Ma’ruf Amin berikut ini:
“Tekstualis dimaksud adalah berpikir secara kaku pada nash
(al-jumûd al-manqûlãt) sebagaimana yang terjadi pada kaum Wahabi di
dalam memahami teks-teks Al Quran. Salah satu pernyataan Imam al-Qarafi,
ulama ahli usul fikih, menyatakan jika ”al-jumûd ‘alã al-manqûlãt
abadan dalãl fi al-din wa jahl bi maqasidihi”, pembacaan yang statis
(tanpa tafsir) penafsiran pada hal-hal yang dalil-dalil yang selamanya
adalah kesesatan di dalam agama dan kebodohan tentang maksud-maksud
agama. Liberal dimaksud adalah cara berpikir yang bebas tanpa
mengindahkan metodologi yang disepakati di kalangan ulama yang dijadikan
pegangan berpikir di kalangan NU.”
Pernyataan KHMA dalam syarh di atas menandakan beliau lupa dengan
konsep Ahlussunnah Wal-Jamaah dalam memahami nash. Padahal dalam ushul
fiqih, sudah dijelaskan secara gamblang tentang konsep hakikat, majaz,
nash, zhahir, ta’wil dan lain sebagainya. Tentu konsep-konsep tersebut
dalam rangka memahami teks-teks al-Qur’an dan hadits.
Sedangkan kutipan KHMA di atas dari al-Qarafi, seorang pakar
ushul fiqih bermadzhab Maliki, tidak sesuai dengan proporsinya. Mengapa
demikian? Ada beberapa alasan yang menjadikan kutipan dari al-Qarafi di
atas tidak proporsional:
a) Pernyataan al-Qarafi di atas bukan ditulis dalam kitab beliau
tentang ushul fiqih atau akidah. Justru pernyataan tersebut ditulis
dalam kitab beliau tentang kaedah fiqih.
b) Pernyataan al-Qarafi tersebut konteksnya bukan dalam memahami
teks-teks al-Qur’an seperti yang dinyatakan oleh KHMA di atas. Akan
tetapi dalam konteks mehamami fatwa-fatwa para ulama, yang tidak bisa
diterapkan sepanjang masa dan dalam berbagai kondisi. Akan tetapi harus
disesuaikan dengan situasi dan kondisi di mana dan bagaimana suatu fatwa
itu harus dikeluarkan. Hal ini sesuai dengan kaedah fiqih yang populer:
تَتَغَيَّرُ اْلأَحْكَامُ بِتَغَيُّرِ اْلأَحْوَالِ وَاْلأَزْمَانِ
Hukum-hukum agama dapat berubah sesuai dengan perubahan keadaan dan zaman.
c) Berkaitan dengan kaedah tersebut, kaum Wahabi tidak berbeda
dengan yang lain. Justru kaedah fiqih di atas dibela dengan luar biasa
oleh Syaikh Ibnu Qayyimil Jauziyyah, ulama panutan kaum Wahabi,
sebagaimana dipaparkan oleh Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi
dalam bukunya Dhawabith al-Mashlahah fi al-Syari’ah al-Islamiyyah.
d) Penerjemahan terhadap pernyataan al-Qarafi di atas salah
fatal. Berikut pernyataan al-Qarafi secara lengkap beserta terjemahannya
yang benar:
عَلَى هَذَا الْقَانُوْنِ (وَهُوَ اِتِّبَاعُ اْلأَعْرَافُ
الْمَحَلِّيَّةُ) تُرَاعِى الْفَتَاوَى عَلىَ طُوْلِ اْلأَيَّامِ،
فَمَهْمَا تَجَدَّدَ فِي الْعُرْفِ اِعْتَبِرْهُ، وَمَهْمَا سَقَطَ
أَسْقِطْهُ، وَلاَ تَجَمَّدْ عَلىَ الْمَسْطُوْرِ فِي الْكُتُبِ طُوْلَ
عُمْرِكَ، بَلْ إِذَا جَاءَكَ رَجُلٌ مِنْ غَيْرِ أَهْلِ إِقْلِيْمِكَ
يَسْتَفْتِيْكَ، لاَ تُجْرِهِ عَلىَ عُرْفِ بَلَدِكَ، وَاسْأَلْهُ عَنْ
عُرْفِ بَلَدِهِ وَأَجْرِهِ عَلَيْهِ، وَأَفْتِهِ بِهِ دُوْنَ عُرْفِ
بَلَدِكَ وَالْمُقَرَّرِ فِيْ كُتُبِكَ، فَهَذَا هُوَ الْحَقُّ الْوَاضِحُ.
وَالْجُمُوْدُ عَلىَ الْمَنْقُوْلاَتِ أَبَداً ضَلاَلٌ فِي الدِّيْنِ،
وَجَهْلٌ بِمَقَاصِدِ عُلَمَاءِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالسَّلَفِ الْمَاضِيْنَ.
وَعَلىَ هَذِهِ الْقَاعِدَةِ تَتَخَرَّجُ أَيْمَانُ الطَّلاَقِ
وَالْعِتَاقِ، وَصِيَغِ الصَّرَائِحِ وَالْكِنَايَاتِ، فَقَدْ يَصِيْرُ
الصَّرِيْحُ كِنَايَةً يَفْتَقِرُ إِلىَ النِّيَّةِ، وَقَدْ تَصِيْرُ
الْكِنَايَةُ صَرِيْحاً، مُسْتَغْنِيَةً عَنِ النِّيَّةِ ”
Berdasarkan aturan ini (mengikuti tradisi lokal), Anda harus
memperhatikan fatwa Anda seumur hidupmu. Apabila dalam suatu tradisi
terjadi pembaharuan, Anda harus mempertimbangkannya. Apabila gugur, Anda
harus menggugurkannya. Janganlah Anda bersikap kaku terhadap redaksi
yang tertulis dalam kitab-kitab seumur hidup Anda. Bahkan apabila
seorang laki-laki mendatangi Anda dari selain penduduk daerah Anda
meminta fatwa, janganlah memperlakukannya sesuai tradisi negeri Anda.
Tanyakan tradisi negerinya, lalu perlakukan sesuai tradisi itu. Fatwakan
sesuai tradisinya, bukan tradisi negeri Anda dan yang menjadi ketetapan
dalam buku-buku Anda. Ini adalah yang benar dan jelas. Kaku terhadap
ibarat-ibarat yang dinukil (dalam kitab) selamanya adalah kesesatan
dalam agama, dan kebodohan terhadap tujuan para ulama kaum Muslimin dan
generasi salaf yang lampau. Atas kaedah inilah, diarahkan sumpah-sumpah
talak dan memerdekakan budak, redaksi-redaksi tegas dan kinayah.
Terkadang kalimat yang tegas menjadi kinayah, sehingga memerlukan niat.
Terkadang kinayah menjadi tegas, yang tidak memerlukan niat. (Al-Qarafi,
al-Furuq juz 1 hlm 386-387, editor Umar Hasan al-Qiyam, terbitan
Muassasah al-Risalah).
Perhatikan, pernyataan al-Qarafi dan terjemahannya secara
lengkap, dan bandingkan dengan terjemahan serta pemahaman Islam
Nusantara. Di situ terjadi kesalahan yang menurut hemat penulis,
termasuk fatal dalam menerjemahkan, dan kerancuan dalam mengarahkan
maksud pernyataan al-Qarafi yang tidak proporsional. Walhasil, pengusung
Islam Nusantara yang mengklaim Islam Ahlussunnah Wal-Jama’ah, kurang
teliti kaedah-kaedah Ahlussunnah Wal-Jamaah, kurang teliti terhadap
perbedaannya dengan Wahabi dan tidak proporsional dalam meletakkan suatu
kaedah dan pernyataan para ulama.
No comments:
Post a Comment