”Persoalan ideologi
Komunis juga tidak semata-mata persoalan politik dan hukum, tetapi juga
menyangkut hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan
Tuhan. Karena, ideologi Komunis tidak mengakui adanya Tuhan, maka ajaran
Komunis dalam segala bentuknya tidak pantas hidup di Indonesia. Siapa
pun dan generasi muda hendaknya jangan sampai terjerat oleh bujuk rayu
orang-orang Komunis.”
(H. Sukitman, polisi
penemu Lubang Buaya dan saksi kebiadaban orang-orang PKI, Gerwani,
Pemuda Rakyat dalam membantai para Jenderal di Lubang Buaya)
Serigala Berbulu Domba
Peristiwa Gerakan 30
September 1965/PKI merupakan tragedi politik dan kemanusiaan di
Indonesia. Dan, perjalanan sejarah telah membuktikan, ideologi Komunis
yang diusung oleh Partai Komunis Indonesia, selalu menghalalkan segala
cara untuk meraih kekuasaan. Mereka tidak akan berhenti melakukan
kekacauan sebelum puncak kekuasaan direbut. Sebab itu, setiap komponen
Bangsa dan generasi muda harus selalu mengingat pergerakan Komunis tidak
akan sirna dari Indonesia.
Pada saat krisis
multidimensional yang tengah melanda Indonesia, di mana kondisi
perekonomian masyarakat melorot dan pengangguran meningkat, Komunis akan
berusaha keras mencengkeramkan pengaruhnya—dengan dalih kesejahteraan
dan keadilan sosial—dan mempengaruhi masyarakat untuk melakukan tindakan
anarkisme.
Seluruh saluran komunikasi
sosial, seperti media massa, seni-budaya, sastra, film, musik,
buku-buku, dialog-dialog, dan lain-lain, dimanfaatkan oleh para juru
kampanye Komunis Gaya Baru, untuk mendapat simpati seluas-luasnya.
Mereka menuduh Soeharto dan perpecahan di tubuh TNI AD yang berada di
balik G. 30 S PKI. Sungguh, kampanye tersebut merupakan pengingkaran
terhadap fakta sejarah.
Pada saat ini, dengan
dalih demokratisasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) para kader PKI dan
simpatisannya tengah berusaha keras memperjuangkan hak-hak perdatanya
kepada pemerintah. Dengan tujuan utama, agar mereka ditempatkan sebagai
korban bukan sebagai pelaku kejahatan politik. Dengan cara
memutarbalikkan fakta dan membuat versi-versi baru berdasarkan rekayasa
sebagai korban dan saksi sejarah. Selain mengacaukan fakta sejarah yang
sesungguhnya, cara-cara demikian dimaksudkan untuk mendapatkan simpati
publik sekaligus mengubah paradigma kesesatan Komunisme menjadi
kebenaran Komunisme. Fakta kekejaman PKI disulap menjadi kekejaman TNI
dan orang-orang Islam. Mereka secara intensif mensosialisosialisasikan
kampanye hitam tersebut melalui media massa cetak, internet, buku-buku,
dan selebaran-selebaran yang memprovokasi masyarakat.
Pada saat ini, upaya
menyembunyikan fakta sejarah, menyangkut kekejaman PKI terutama
pemberontakan Madiun 1948 dan G 30 S PKI terus dilakukan. Sebut saja,
misalnya, tempat penguburan hidup-hidup Lubang Buaya dibantah. G 30 S
PKI adalah akibat konflik internal TNA AD. Mereka juga gencar
mensosialisasikan Soeharto sebagai dalang di balik G 30 S PKI dan dalang
pembantaian massal. Sungguh hal tersebut sebagai sebuah fitnah yang
keji. Karena, dalang pembantaian tersebut adalah PKI yang memang sudah
berhasil menyusupkan kader-kadernya di berbagai bidang pemerintahan,
baik di tubuh militer, instansi-instansi pemerintah dan lembaga-lembaga
kemasyarakatan.
Para kader Komunis memang
tidak segan-segan melakukan sosialisasi dengan individu dan kelompok
masyarakat yang belum dapat menggapai kesejahteraan dalam kehidupannya.
Mereka seolah memperjuangkan hak-hak rakyat, buruh, tani, nelayan dan
mempengaruhi mahasiswa bahkan pelajar untuk melakukan demonstrasi.
Padahal di balik ”perjuangan kemanusiaan” itu, para kader Komunis
melakukan ”cuci otak” dengan mengajarkan Komunisme. Tanpa terasa
indoktrinasi ideologi Komunis ditanamkan. Bagi mereka yang tidak
menyadari, kemudian ”keblinger” dan ikut-ikut menjadi corong
berkumandangnya Komunisme di Indonesia.
Para kader Komunis memang
bagai ”serigala berbulu domba”. Mereka seolah-oleh menjadi teman,
saudara, satu nasib dan satu perjuangan, namun dibalik itu semua mereka
akan menerkam setiap orang: baik teman maupun lawan untuk satu
kepentingan : Kekuasaan dengan Ideologi Komunis.
Penyusupan Menjadi Pola Perjuangan
Komunis mulai dikenal di Indonesia diawali dengan terbentuknya Indische Social Democratische Vereniging
(ISDV) atau Perserikatan Sosial Demokrat Hindia. Organisasi ini
didirikan pada 9 Mei 1914 di Surabaya oleh Hendrickus Josephus
Franciscus Marie Sneevliet alias Maring dan dibantu Adolf Baars. Sebagai
penganut paham Komunis, Maring paham betul bagaimana mengembangkan
dengan cara melakukan infiltrasi terhadap organisasi yang didirikan
pribumi. Salah satunya infeltrasi ke Sarekat Islam (SI).
Adalah Semaoen yang
menjadi kaki tangan ISDV dan melakukan penyusupan. Akibatnya SI kemudian
terbelah menjadi SI ”Merah” pimpinan Semaoen dan SI ”Putih” pimpinan
HOS Tjokroaminoto. Tanggal 23 Mei 1920, Semaoen mengumumkan manifesto
berdirinya Perserikatan Komunsi Hindia di kantor SI Semarang. Organisasi
inilah yang menjadi cikal-bakal Partai Komunis Indonesia (PKI). PKI pun
bergabung dengan partai Komintern (Komunis Internasional). Garis
politik yang dianut berdasarkan ajaran Lenin. Yakni : Harus menggunakan petty bourgeoisie dan Menggunakan aspirasi nasional rakyat terjajah (Fadlizon dan H. Alwan Aliuddin dalam Kesaksian Korban Kekejaman PKI 1948, halaman 6)
Sebagai kepanjangan tangan
ISDV, PKI disetujui bekerja di dalam kalangan SI, yang disebut sebagai
organisasi proletar berbaju Islam. Dijelaskan pula, revolusi Asia
berdasarkan ”borjuis demokratik” dengan aksi landreform yang
mencita-citakan tanah untuk petani penggarap tanah. Artinya, tanah-tanah
yang dikuasai para ”tuan tanah” harus direbut secara paksa.
Yang menarik—dan kini
digembar-gemborkan oleh kader-kader Komunis, bahwa PKI juga pernah
melakukan perlawanan terhadap Belanda 1926-1927. Pemberontakan di Jawa
(Priangan, Solo, Banyumas, Pekalongan, Kedu, Kediri dan Banten) dan
Sumatera (Padang, Silungkang dan Padang Panjang), pada kenyataan justru
menimbulkan korban pada rakyat. Pemberontakan ini dapat dengan mudah
diluluhlantakkan Belanda. Akibatnya, 9 orang digantung, 13.000 orang
ditahan dan kemudian sebagian diasingkan di Tanah Merah, Digul.
Pada tahun 1927, PKI
Sumatera Barat terlambat memberontak. PKI sendiri memprovokasi kaum tani
yang muslimin. Mereka memang menjadi korban kekejaman Belanda karena
harus membayar pajak yang terlampau tinggi. Dari pemberontakan, PKI
memang melakukan tipu-muslihat dengan mengeksploitir penderitaan para
petani. Sesungguhnya PKI hanya mengumpankan kepada Belanda. Orang-orang
PKI mengatakan, apabila memberontak, akan datang kapal terbang Angkatan
Udara Turki ditugaskan oleh Kemal Ataturk membantu pemberontakan (Brackman, seperti dikutip Taufiq Ismail dalam Katastrofi Mendunia…., halaman xxvi).
Fakta sejarah itulah yang
menjadi catatan penting dalam kancah sejarah Indonesia sebelum
Kemerdekaan 17 Agustus 1945 diproklamasikan. Ketika banyak organisasi
dan para pejuang kemerdekaan mulai mengumandangkan perang dan upaya
mempersatukan perlawanan terhadap Belanda, PKI tidak ikut serta di
dalamnya. Jadi, tidak alasan dan fakta sejarah, yang bisa menempatkan
PKI sebagai organisasi dan kader-kader pada jajaran heroisme perjuangan
Kemerdekaan Republik Indonesia.
Tetapi, setelah
Kemerdekaan mendapat dukungan rakyat, beberapa kader PKI dari luar
negeri kembali. Sebut saja Sardjono dari Australia dan Alimin dari Cina.
Mereka kemudian melakukan penyusupan ke Partai Sosialis Indonesia dan
Partai Buruh. Mereka pun membangun organisasi dan mendidik
kader-kadernya sebagai kader yang memiliki militansi tinggi.
Pengkhiatan demi
pengkhiatan pun dilakukan. PKI tidak peduli dengan perjuangan Bangsa
Indonesia dalam melawan penjajahan Belanda. Kekejaman PKI terukir dengan
nyata, ketika ”membokong” Kemerdekaan RI dengan melakukan pemberontakan
PKI/FDR di Madiun pada tanggal 18 September 1948. Pemberontakan yang
disertai dengan pembunuhan keji ini dipimpin Muso, yang baru kembali
dari Moskow. FDR didirikan oleh Amir Syarifuddin, yang beroposisi dari
Kabinet Mohammad Hatta. Kabinet Amir Syarifuddin jatuh setelah adanya
Perjanjian Renville. Seperti diketahui Kabinet Hatta adalah kabinet anti
Komunis dan berhasil mencegah penyusupan kader-kader PKI di tubuh
militer dengan cara melakukan reorganisasi Angkatan Perang Republik
Indonesia.
Penyusupan memang menjadi
pola gerakan PKI. Setelah melakukan penyusupan dan memiliki kader yang
handal, PKI pun melakukan pemberontakan berdarah. Itulah sebabnya,
mengapai ada tokoh-tokoh PKI dari kalangan Islam, militer, guru, buruh,
tani, nelayan, mahasiswa, dan lain-lain. Para seniman, sastrawan, dan
budayawan dengan alasan kebebasan berkreasi dicekoki ajaran Komunis.
Kekuasaan Komunis Membantai Lebih Dari 120 Juta Jiwa Manusia
Kekerasan menjadi ciri
khas dalam pelaksanaan rejim Komunis di dunia. Rejim Komunis yang anti
Tuhan menggunakan segala cara untuk menumbangkan lawan-lawan politiknya.
Simak saja apa yang dikatakan Karl Marx (1818-1883), bila waktu tiba
kita tidak akan menutup-nutupi terorisme kita. Kami tidak punya belas
kasihan dan kami tidak meminta dari siapa pun rasa belas kasihan. Bila
waktunya tiba, kami tidak mencari-cari alasan untuk melaksanakan teror.
Cuma ada satu cara untuk memperpendek rasa ngeri mati musuh-musuh itu,
dan cara itu adalah teror revolusioner.
Tidak kalah ketinggalan
dengan Karl Marx, Vladimir Ilich Ullyan Lenin tahun 1870-1924 yang
mengatakan, saya suka mendengarkan musik yang merdu, tapi di
tengah-tengah revolusi sekarang ini yang perlu adalah membelah
tengkorak, menjalankan keganasan dan berjalan dalam lautan darah. Dan
tidak jadi soal bila ¾ penduduk dunia habis, asal yang tinggal ¼ itu
Komunis. Untuk melaksanakan Komunisme, kita tidak gentar berjalan di
atas mayat 30 juta orang.
Copy paste ajaran
Marxisme, Leninisme, Maoisme, dan Komunisme yang gemar memainkan peran
sebagai algojo, diusung secara utuh oleh kader-kader Komunis di
Indonesia. Gubernur Jawa Timur, Soerjo, yang memiliki peran penting di
dalam kancah perang Kemerdekaan di Surabaya, dibantai habis. Kekejaman
PKI yang berhasil direkam oleh Maksum, Sunyoto, Agus dan Zainuddin A
dalam buku Lubang-lubang Pembantaian Petualangan PKI di Madiun,
mengungkapkan, dubur warga Desa Pati dan Wirosari ditusuk bambu runcing
dan mayat mereka ditancapkan di tengah-tengah sawah hingga mereka
kelihatan seperti pengusir burung pemakan padi. Salah seorang
diantaranya wanita—ditusuk kemaluannya sampai tembus ke perut, juga
ditancamkan di tengah sawah. Algojo PKI merentangkan tangga membelintang
sumur, kemudian Bupati Magetan dibaringkan di atasnya. Ketika telentang
terikat itu, algojo menggergaji badannya sampai putus dua, langsung
dijatuhkan ke dalam sumur.
Lubang-lubang pembantaian
memang menjadi ciri khas pembunuhan massal oleh PKI. Lubang Buaya adalah
bukti otentik aksi kejam PKI dengan Gerakan 30 September 1965. Tidak
tanggung-tanggung tujuh orang jenderal (Letjen TNI A. Yani, Mayjen
TNI Soeprapto, Mayjen TNI M.T. Hardjono, Mayjen TNI S. Parman, Brigjen
TNI D.I. Panjaitan, Brigjen TNI Soetodjo Siswomihardjo, dan Lettu Pierre
Andries Tendean), dimasukkan ke dalam sumur. Para Gerwani dan
Pemuda Rakyat bersorak dan bergembiraria melihat para Jenderal
dimasukkan ke dalam sumur di Lubang Buaya di Jakarta Timur.
Lubang-lubang lain di
banyak daerah di Jawa juga sudah disiapkan oleh para kader PKI. Daftar
nama lawan-lawan politik sudah disusun untuk segera dieksekusi, karena
tidak satu paham dengan aliran politik PKI. Namun, kegagalan
Pemberontakan G 30 S 1965/PKI menyebabkan Dewan Revolusi tidak bisa
menindaklanjuti aksi berdarah yang sudah dilakukan di Jakarta.
Kini, para anggota PKI,
anggota-anggota organisasi sayapnya beramai-ramai membersihkan diri
dengan pengakuan-pengakuan palsu : seperti tertera pada buku ”Suara Perempuan Korban Tragedi ’65”
yang ditulis Ita F. Nadia dan diterbitkan Galang Press—sebuah penerbit
di Yogyakarta. Padahal, bau anyir darah begitu melekat dalam aksi-aksi
perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh PKI. Para penulis asing pun ikut
hiruk-pikuk mencuci ”piring kotor” PKI dengan memanfaatkan bahan-bahan
dan pengakuan-pengakuan sepihak dari orang-orang PKI. Apakah mereka
telah terbeli oleh organisasi Komunis Internasional atau telah menjadi
kaki tangan kekuatan asing yang ingin menghancurkan kembali Republik
Indonesia?
Inilah pembantaian yang
sudah ditorehkan oleh penguasa Komunis di belahan dunia lain. Setidaknya
terdapat 100 juta lebih nyawa yang dibantai. Sebuah jumlah yang
melebihi jumlah korban Perang Dunia I dan II. Banjir darah dan banjir
darah menjadi ciri khas kekuasaan Komunis di dunia.
- 500.000 rakyat Rusia dibantai Lenin (1917-1923)
- 6.000.000 petani Kulak Rusia dibantai Stalin (1929)
- 40.000.000 dibantai Stalin (1925-1953)
- 50.000.000 penduduk Rakyat Cina dibantai Mao Tsetung (1974-1976)
- 2.500.000 rakyat Kamboja dibantai Pol Pot (1975-1979)
- 1.000.000 rakyat Eropa Timur diberbagai Negara dibantai rejim Komunis setempat dibantu Rusia Soviet (1950-1980)
- 150.000 rakyat Amerika Latin dibantai rejim Komunis di sana.
- 1.700.000 rakyat berbagai Negara di Afrika dibantai rejim Komunis.
- 1.500.000 rakyat Afganistan dibantai Najibullah (1978-1987)
(DIKUTIP DARI BUKU KATASTROFI MENDUNIA KARYA TAUFIQ ISMAIL, TAHUN 2004)
Akankah Komunisme
dibiarkan melakukan penyusupan dalam sendi-sendi kehidupan sosial
kemasyarakatan? Ingat, Partai Komunis Indonesia dibubarkan pada tanggal
12 Maret 1966. Melalui Ketetapan MPRS XXV Tahun 1966 ajaran Marxisme,
Leninisme, dan Komunisme dilarang di Indonesia. Kemudian Undang-undang
No 27 Tahun 1999 tentang Keamanan Negara mengukuhkan larangan bagi siapa
pun untuk menyebarkan Komunisme dalam segala bentuknya dengan sanksi
pidana seberat-beratnya 12 tahun kurungan penjara. Sesungguhnya sanksi
hukum tersebut terbilang ringan. Di AS para pemberantok tidak hanya
dikurung di dalam penjara, bahkan harus diasingkan dari kehidupan sosial
kemasyarakatan.
Menurut Prof. Dr. Moh.
Noor Syam, guru besar Universitas Negeri Malang, gerakan menggantikan
ideologi Pancasila dengan ideologi Komunisme bisa digolongkan sebagai
bentuk separatisme. Sehingga, hukum harus ditegakkan kepada mereka
dengan hukuman yang setimpal. Artinya, penegak hukum, pemerintah dan
Negara harus tegas menjaga Pancasila sebagai ideologi Bangsa Indonesia.
Tragedi-tragedi Berdarah Itu…
Sudah menjadi ideologi, paham Komunis selalu
menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan. Pembunuhan terhadap
orang-orang tidak berdosa yang dilarang oleh agama apa pun di dunia,
justru menjadi pola perjuangan orang-orang Komunis di dunia termasuk di
Indonesia. Inilah bukti aksi berdarah yang dilakukan Komunis di
Indonesia.
Peristiwa Tiga Daerah
Peristiwa ini setidaknya
terjadi dari tanggal 8 Oktober – 9 November 1945. Peristiwa ini terjadi
di tengah upaya Bangsa Indonesia mempertahankan Kemerdekaan 17 Agustus
1945. Sejarah mencatat, kelompok Komunis bawah tanah mulai berubah
menjadi organisasi massa dan pemuda. Sebut saja Angkatan Pemuda
Indonesia (API) dan Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI). Mereka
mulai melakukan aksi penggantian pejabat pemerintah di tiga (3)
kabupaten : Karisidenan Pekalongan yang meliputi Brebes, Tegal dan
Pemalang.
Pada tanggal 8 Oktober
1945, AMRI Slawi di bawah pimpinan Sakirman dan AMRI Talang dipimpin
Kutil melakukan teror dengan menangkapi dan membunuh pejabat pemerintah.
Aksi sepihak dilanjutkan pada tanggal 4 November 1945, pasukan AMRI
menyerbu kota Tegal—yakni kantor kabupaten dan Markas TKR. Aksi ini
gagal. Namun, tokoh-tokoh Komunis membentuk Gabungan Badan Perjuangan
Tiga Daerah untuk perebutan kekuasaan di Karisidenan Pekalongan.
Aksi Gerombolan Ce’Mamat di Banten
Tokoh Komunis ini bernama
Ce’Mamat. Dia terpilih menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI).
Ce’Mamat merencanakan menyusun pemerintahan model Uni Soviet.
Dibentuklah Dewan Pemerintahan Rakyat Serang (DPRS) pada tanggal 17
Oktober 1945. Selanjutnya merebut pemerintahan Karisidenan Banten.
Dengan menggunakan kekuatan laskar-laskarnya, teror pun dilakukan.
Gerombolan Ce’Mamat berhasil menculik dan membunuh Bupati Lebak R.
Hardiwinangun di Jembatan Sungai Cimancak pada tanggal 9 Desember 1945.
Pasukan Ubel-ubel Membunuh Oto Iskandar Dinata
Satu lagi bukti kekejaman
Komunis di Indonesia. Peristiwa ini bermula pada tanggal 18 Oktober
1945, Badan Direktorium Dewan Pusat yang dipimpin Ahmad Khairun
didampingi tokoh-tokoh bawah tanah Komunis, mengambil alih kekuasaan
Pemerintah Republik Indonesia di Tangerang dari Bupati Agus Padmanegara.
Tidak hanya sampai di situ. Dewan ini pun membentuk laskar-laskar
dengan nama Ubel-ubel. Aksi kekerasan dan teror dilakukan. Puncaknya
pada tanggal 12 Desember 1945, Laskar Hitam dibawah pimpinan Usman di
daerah Mauk, membunuh tokoh nasional Oto Iskandar Dinata.
Pemberontakan PKI di Cirebon
PKI di bawah pimpinan Mr.
Yoesoef dan Mr. Soeprapto mengadakan konferensi Laskar Merah. Sekitar
3000 anggota Laskar Merah dari Jawa Tengah dan Jawa Timur hadir di
Cirebon pada tanggal 12 Februari 1946. Rupanya konferensi hanyalah kedok
untuk merebut kekuasaan. Karena, pada kenyataannya Laskar Merah justru
melucuti TRI, menguasai gedung-gedung vital seperti stasiun radio dan
pelabuhan. Namun, pada tanggal 14 Februari 1946, aksi sepihak Laskar
Merah tersebut berhasil digagalkan kembali oleh TRI. Kota Cirebon pun
berhasil dikuasai kembali oleh TRI.
Revolusi Sosial di Langkat
Kemerdekaan Republik
Indonesia 17 Agustus 1945 ternyata tidak sepenuhnya bisa diterima oleh
sejumlah kerajaan di Sumatera Timur. Kondisi tersebut dimanfaat oleh PKI
untuk melakukan aksi sepihak. Inilah yang menimpa Istana Sultan Langkat
Darul Aman di Tanjung Pura. Pada tanggal 3 Maret 1946 terjadi Revolusi
Sosial yang dilakukan PKI di Langkat. Secara paksa PKI merebut kekuasaan
para pemerintahan kerajaan bahkan membunuh raja-raja dan keluarganya.
Tidak hanya membunuh, PKI pun merampas harta benda milik kerajaan. Pada
tanggal 9 Maret 1946, PKI dibawah pimpinan Usman Parinduri dan Marwan
menyerang Istana Sultan Langkat Darul Aman di Tanjung Pura.
Pemogokan Buruh SARBUPRI di Delanggu, Klaten
Menggerogoti wibawa
pemerintah yang sah adalah sebuah sistem pergerakan yang selalu
dilakukan PKI. Sekitar 1.500 pekerja pabrik karung goni dari tujuh
perusahaan perkebunan miliki Pemerintah di Delanggu, Klaten melakukan
pemogokan pada tanggal 23 Juni 1948. Mereka yang tergabung di dalam
Serikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (SARBUPRI)—organisasi buruh
PKI—menuntut kenaikan upah. Tuntutan yang sangat tidak masuk akal,
mengingat Republik Indonesia baru saja berdiri. Sementara Belanda masih
terus-menerus merongrong Kemerdekaan RI dengan kekuatan senjata maupun
diplomasi Internasionalnya. Aksi ini akhirnya berakhir pada tanggal 18
Juli 1948 setelah partai-partai politik mengeluarkan pernyataan
menyetujui Progam Nasional.
Kekacauan Surakarta
Tampaknya sejak awal
Kemerdekaan, PKI memang hendak merebut kekuasaan terhadap pemerintahan
yang sah. Berbagai aksi adu-domba dilakukan PKI di wilayah Surakarta,
Jawa Tengah. Pada saat peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke-3,
yang diwarnai dengan pasar malam di Sriwedari, tiba-tiba PKI membakar
ruang pameran jawatan pertambangan. Peristiwa yang terjadi pada tanggal
19 Agustus 1948 tersebut kemudian terbongkar, sebagai kamuflase/kedok
dari recana makar yang dilakukan PKI dalam pemberontakan Madiun tanggal
18 September 1948. Aksi pembakaran di Sriwedari tersebut sebagai
“pemanasan” untuk pembantaian di Madiun.
Pemberontakan PKI di Madiun
Inilah pengkhiatan PKI
terhadap kedaulatan RI pada masa pasca Kemerdekaan RI. Pemberontakan
yang terjadi pada tanggal 18 September 1948 sampai saat ini berusaha
ditutupi oleh orang-orang PKI. Padahal, fakta sejarah sudah
membuktikan—di tengah upaya Republik Indonesia mempertahankan
Kemerdekaan—PKI justru “membokong” dan mengkhianati perjuangan yang
telah dilakukan. Dengan dalih kecewa atas perjanjian Renville, Amir
Syarifuddin yang tersingkir posisi dari pemerintahan Presiden Soekarno
kemudian membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR). Seperti diketahui,
Kabinet Amir Syarifuddin kemudian digantikan oleh Kabinet Hatta yang
memang antikomunis. FDR ini beranggotakan Partai Sosialis, PESINDO,
Partai Buruh, PKI dan SOBSI.
Di Madiun PKI membantai
ulama dan kyai yang antikomunis. Tujuan tujuan memproklamasikan Soviet
Republik Indonesia, Madiun sempat jatuh di tangan PKI.
Dipimpin Kolonel
Djokosujono dan Sumarsono tanggal 18 September 1948, PKI memproklamirkan
Soviet Republik Indonesia. Sehari kemudian atau tanggal 19 September
1948, Muso membentuk pemerintahan baru, Pemerintah Front Nasional. Muso
sejak kedatangannya dari Moskow memang berhasil mempengaruhi
anggota-anggota TNI untuk bergabung. Disamping itu, Muso dengan liciknya
mengadu-domba antar kesatuan di TNI.
Atas pemberontakan
tersebut kemudian Presiden Soekarno mengeluarkan maklumat pada tanggal
19 September 1948 dengan menyatakan : “Kemarin pagi PKI Muso mengadakan
coup, mengadakan perampasan kekuasaan di Madiun, dan mendirikan di sana
satu Pemerintahan Soviet, di bawah pimpinan Muso. Bagimu pilih diantara
dua. Iku Muso dengan PKInya yang akan membawa bangkrutnya cita-cita
Indonesia Merdeka, atau ikut Soekarno-Hatta, yang Isya Allah dengan
bantuan Tuhan akan memimpin Negara Republik Indonesia kita, Indonesia
yang merdeka, tidak dijajah Negara mana pun jua.” Selanjutnya, Sri
Sultan Hamengku Buwono IX menyerukan : “Secepat mungkin menghancurkan
kaum pemberontak.” Selain itu, Menteri Agama KH Masjkur yang juga tokoh
Partai Masyumi menyatakan :”Perebutan kekuasaan oleh Muso di Madiun
adalah bertentangan dengan agama dan adalah perbuatan yang hanya mungkin
dijalankan oleh musuh Republik.”
Pemberontakan PKI Madiun
ini berhasil dipadamkan. Madiun pun direbut kembali. Muso berhasil
ditembak mati pada tanggal 30 Oktober 1948 jam 11.00 di Semanding Timur
Ponorogo. Kemudian Djokosujono, Maruto Darusman, Sajogo dan
gerombolannya ditangkap. Amir Sjarifuddin dan Suripno berhasil ditangkap
dan dihukum mati.
Wajar apabila akhirnya
gembong-gembong PKI dihukum mati. Selain melawan pada saat diminta
menyerah, mereka pun telah melakukan kekejaman terhadap masyarakat.
Sebagai contoh di Desa Soco, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan, KH
Soelaiman Zuhdi Affandi digelandang PKI secara keji. Sebelumnya di
Pabrik Gula Gorang Gareng puluhan orang tawanan PKI dibunuh secara keji.
Selanjutnya, bersama ratusan tawanan lain dibantai. Bahkan, KH
Soelaiman Zuhdi Affandi dikubur hidup-hidup di sumur pembantaian Desa
Soco pada saat mengambil air wudlu. Pada sumur tersebut ditemukan 108
kerangka jenazah. Kini korban keganasan PKI tersebut dimakamkan di Taman
Makam Pahlawan Kota Madiun. Begitulah kalau PKI ingin berkuasa. Karena
tidak mengenal Tuhan, maka pembantaian, mengubur manusia hidup-hidup
dianggap sebagai cara yang halal.
Tapi, dengan segala
kelicikannya, kemudian PKI mengatakan Pemberontakan Madiun karena
diprovokasi Hatta. Sungguh ini pemutar-balikkan fakta terhadap tragedi
berdarah yang sudah dilakukan. Persoalan kemudian Presiden Soekarno
mengampuni tindakan makar dan tindakan separatis yang dilakukan PKI.
Sehingga pada Pemilu pertama tahun 1955, PKI berhasil muncul sebagai
kekuatan politik nomor 4 bersama PNI, Masyumi, dan Nahdlatul Ulama (NU).
Aksi Berdarah di Blora
Pasukan PKI menyerang
Markas Kepolisian Distrik Ngawen, Kabupaten Blora pada 18 September
1948. Setidaknya 20 orang anggota polisi ditahan. Namun, ada tujuh
polisi yang masih muda dipisahkan dari rekan-rekannya. Setelah datang
perintah dari Komandan Pasukan PKI Blora, mereka dibantai pada tanggal
20 September 1948. Sementara tujuh polisi muda dieksekusi dengan cara
keji. Ditelanjangi kemudian leher mereka dijepit dengan bambu. Dalam
kondisi terluka parah, tujuh polisi dibuang ke dalam kakus/jamban (WC)
dalam kondisi masih hidup, baru kemudian ditembak mati.
Membantai di Dungus
Setelah Madiun direbut
kembali oleh TNI, kemudian PKI pada tanggal 30 September 1948 melarikan
diri ke Desa Kresek, Kecamatan Wungu, Kabupaten Dungus. Sebenarnya
wilayah tersebut memang dipersiapkan sebagai basis pertahanan PKI. Dalam
kondisi terdesak PKI akhirnya membantai hampir semua tawanannya dengan
cara keji. Para korban ditemukan dengan kepala terpenggal dan luka
tembak. Diantara para korban ada anggota TNI, polisi, pejabat
pemerintah, tokoh masyarakat dan ulama. Rangkaian pembunuhan oleh PKI
masih dilanjutkan.
Pembantaian Massal di Tirtomoyo
Ini tragedi berdarah di
Wonogiri, Jawa Tengah. Aksi yang dilakukan adalah dengan menculik
lawan-lawan politiknya. Pejabat pemerintahan, TNI, polisi, dan wedana
menjadi santapan empuk PKI. Di sebuah ruangan bekas laboratorium dan
gudang dinamit di Tirtomoyo, PKI menyekap sedikitnya 212 orang—terdiri
dari para pejabat dan masyarakat yang melawan partai berideologi Komunis
tersebut. Aksi pembantaian dilakukan sejak tanggal 4 Oktober 1948.
Satu-persatu dan juga bersama-sama, akhirnya 212 tawanan dibantai dengan
keji.
Aksi PKI di Tanjung Priok
Pasca pemberontakan PKI
Madiun dipadamkan, tidak serta merta kehidupan PKI berakhir di
Indonesia. PKI masih tetap tumbuh dan menyelusup di seluruh pelosok
Negeri. Wajar pemerintah tidak bisa membasmi habis PKI sampai ke
akar-akarnya. Ini sebabkan, pemerintah RI dan TNI juga sedang berhadapan
langsung dengan Kolonial Belanda yang tetap ingin menguasai Republik
Indonesia.
Terbukti aksi kekerasan
masih terus dilakukan. Pada tanggal 6 Agustus 1951 malam, Gerobolan Eteh
(PKI) dengan kekuatan puluhan orang menggunakan senjata tajam dan
senjata api melakukan aksi di Tanung Priok. Mereka menyerang Asrama
Mobile Brigade Polisi dengan tujuan merebut senjata. Awal mulanya,
seorang anggota Gerombolan Eteh seolah-olah ingin menjenguk rekannya di
Markas. Namun, secara tiba-tiba anggota yang lain menyerang pos jaga
asrama. Dalam aksi tersebut Gerombolan Eteh berhasil merampas 1 senjata
bren, 7 karaben, dan 2 pistol.
Aksi Barisan Tani Indonesia (BTI) di Tanjung Morawa
Tindakan brutal dilakukan
BTI dengan memprovokasi para petani di perkebunan tembakau di desa
Perdamaian, Tanjung Morawa pada tanggal 16 Maret 1953. BTI adalah salah
satu underbouw PKI yang memang menggarap petani sebagai pendudukung
kekuatan massanya. Pada saat itu, Pemerintahan RI Karisedenan Sumatera
Timur merencanakan membuat sawah percontohan, namun ditentang oleh para
penggarap liar. Dengan dikawal pasukan polisi, lahan perkebunan tersebut
terpaksa dibuldozer. Menentang rencana tersebut BTI mengerahkan massa
untuk melakukan perlawanan kepada polisi dan aparat pemerintah.
DN Aidit Membangkitkan Kembali PKI
Di bawah tokoh-tokoh muda seperti DN Aidir, sejak
tahun 1950 PKI melakukan konsolidasi kekuatan. PKI pun berhasil
menyatukan kembali kekuatannya yang telah berserakan setelah
Pemberontakan Madiun. Aksi yang terus dilakukan adalah menyebarkan
pengaruhnya di berbagai kalangan dan institusi. Untuk menyusun kekuasaan
politik, PKI menyusun metode perjuangan yang disebut dengan Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan (MKTBP)
Metode ini merupakan
rumusan yang dilakukan pada Kongres Nasional V PKI pada tanggal 14 Maret
1954. Metode tersebut meliputi : Perjuangan Gerilya di Desa, Bekerja
Intensif di Kalangan ABRI. Metode ini dilakukan secara tertutup.
Sedangkan untuk menyusup ke ABRI dilakukan oleh Biro Khusus PKI.
Kisah tentang DN Aidit pun
berlanjut. Sekretaris Jenderal Polit Biro CC PKI mengeluarkan Statemen
Polit Biro CC PKI, yang intinya meminta agar Pemberontakan Madiun di
peringati secara intern pada tanggal 13 September 1953. Dalam
pernyataannya, secara licik PKI membantah Pemberontakan Madiun bukan
dilakukan oleh PKI, tetapi akibat provokasi Pemerintah Hatta. Tindakan
tegas pemerintah dilakukan kepada DN Aidit dengan mengadilinya pada 25
November 1954. Kemudian vonis dijatuhkan pada tanggal 25 Februari 1955
dan DN Aidit dinyatakan bersalah.
LEKRA Memberangus Lawan Seni dan Budayanya
PKI tidak hanya
memfokuskan diri pada bidang politik untuk membangun kekuatannya. Para
sastrawan, seniman dan budayawan juga direkrut. Lembaga Kebudayaan
Rakyat (LEKRA) memasukkan komunisme ke dalam seni dan sastra.
Mempolitikkan budayawan dan mendiskreditkan lawan. Pada tanggal 22
sampai 25 Maret 1963, LEKRA menyelenggarakan Konferensi Nasional I
Lembaga Sastra Indonesia di Medan. Konferensi tidak hanya membahas
masuknya Komunisme di bidang sastra, juga menuntut dibentuknya Kabinet
Gotong Royong yang memungkinkan masuknya tokoh-tokoh PKI di dalamnya.
Salah satu petinggi Lekra
adalah Pramudya Ananta Toer. Pram juga dikenal sebagai Pemimpin Redaksi
Lembar Kebudayaan Lentera dari koran Bintang Timur. Koran inilah yang
menuding Hamka sebagai plagiator dengan berjudul Tenggelamnya Kapal Van
der Wijk. Tekanan politik terhadap karya-karya non Komunis dilakukan
oleh Lekra. Menghadapi gerakan Lekra para sastrawan seperti HB Jassin,
Taufiq Ismail, Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Bokor Hutasoit,
Goenawan Mohammad, Bur Rasuanto, A Bastari Asnin, Soe Hok Djin (Arief
Budiman), Ras Siregar, D.S. Moeljanto, Sjahwil, dam Djufri Tanissan
merumuskan Manifes Kebudayaan untuk melawan Manifes Politik yang
dikeluarkan Lekra. Tetapi, dengan kekuatan politik di tangan Presiden
Soekarno pada saat itu (8 Mei 1964), Manifes Kebudayaan akhirnya
dilarang melakukan aktivitas.
Hujatan-hujatan terhadap
sastrawan Manifes Kebudayaan terus dilakukan. Penyair Chairil Anwar
(pelopor Angkatan 45) juga digugat. Seperti dikatakan Sitor Situmorang,
Chairil Anwar dinilai sudah tidak punya arti apa-apa. Chairil disebut
sadar tidak sadar telah masuk ke dalam jaringan kontra revolusioner.
Bahkan buku-buku karya sastra karya sastrawan di Manifes Kebudayaan
dibakar oleh Lekra.
Serangan terhadap Pelajar Islam Indonesia di Kanigoro
PKI melalui Pemuda Rakyat
(PR) dan Barisan Tani Indonesia (BTI) memang sungguh-sungguh tidak
beradap. Training Pelajar Islam Indonesia di kecamatan Kras, Kediri
tanggal 13 Januari 1965 diserang oleh PR dan BTN. Massa Komunis ini
tidak hanya menyiksa, melakukan pelecehan seksual terhadap para pelajar
Islam perempuan. Tidak hanya sampai di situ, massa PKI pun
menginjak-injak Al-Quran. PKI memang tidak mengenal Tuhan. Mereka pun
memiliki pertunjukan Ludruk dengan lakon ”Matinya Gusti Allah”.
Tragedi Bandar Betsi, Pematang Siantar
Sejarah ini menunjukkan
PKI memang brutal. Mereka pada tanggal 14 Mei 1965 melakukan aksi
sepihak yakni dengan menguasai secara tidak sah tanah-tanah miliki
Negara. Pemuda Rakyat, BTI, dan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia)
melakukan penanaman secara liar di areal lahan milik Perusahaan
Perkebunan Negara (PPN) Karet IX Bandar Betsi. Sekitar 200 massa ikut
serta dalam aksi tersebut. Pelda Sudjono yang sedang ditugaskan di
perkebunan secara kebetulan menyaksikan perilaku anggota PKI tersebut.
Sudjono pun memberi peringatan agar aksi dihentikan. Anggota PKI
bukannya pergi, justru berbalik menyerang dan menyiksa Sudjono.
Akibatnya Sudjono tewas dengan kondisi yang amat menyedihkan. Kini salah seorang putra
pembunuh Sudjono bernama Muchtar Pakpahan aktif di organisasi buruh SBSI
dan kemudian mendirikan Partai Buruh dan mengikuti Pemilu 2009.
Pemberontakan PKI 30 September 1965
Sejarah berdarah kembali
ditorehkan oleh PKI di Indonesia. Dengan menamakan diri Gerakan 30
September 1965, mereka menghabisi tujuh orang Letjen TNI A. Yani,
Mayjen TNI Soeprapto, Mayjen TNI M.T. Hardjono, Mayjen TNI S. Parman,
Brigjen TNI D.I. Panjaitan, Brigjen TNI Soetodjo Siswomihardjo, dan
Lettu Pierre Andries Tendean. Jenderal A.H. Nasution yang sudah
masuk dalam daftar pembantaian ternyata bisa meloloskan diri. Hanya Ade
Irma Nasution menjadi korban aksi keji pasukan PKI. Menjadi fakta
sejarah, para korban keganasan PKI tersebut dilemparkan ke dalam sumur
di Lubang Buaya. Sementara Mayjen Soeharto sebagai Pangkstrad tidak
diperhitungkan oleh PKI, sehingga tidak ikut dihabisi.
Instruksi Letkol Untung
(Komandan Gerakan 30 September 1965/PKI), pembantaian yang diawali
dengan penculikan dilakukan oleh tiga kelompok pasukan yang diberi nama
Pasukan Pasopati (dipimpin Lettu Dul Arief), Pringgondani (dipimpin
Mayor Udara Sujono) dan Bima Sakti (dipimpin Kapten Suradi).
ABRI/TNI memang menjadi
sasaran utama penyusupan PKI. Melalui Biro Khusus Central, PKI
mempengaruhi anggota TNI agar berpihak kepada mereka. Biro Khusus ini di
bawah kendali langsung DN Aidit. Oleh PKI, para anggota ABRI yang
berhasil dijaring disebut sebagai “perwira-perwira yang berpikiran
maju.” Mereka yang tercatat sebagai pendukung PKI antara lain : Mayjen
TNI Pranoto Reksosamudro, Brigjen TNI Soepardjo, Kolonel Inf. A Latief,
Letnan Kolonel Untung, Mayor KKO Pramuko Sudarmo, Letkol Laut Ranu
Sunardi, Komodor Laut Soenardi, Letkol Udara Heru Atmodjo, Mayor Udara
Sujono, Men/Pangau Laksdya Udara Omar Dhani, Brigjen Pol. Soetarto,
Komisaris Besar Polisi Imam Supoyo, Ajun Komisaris Besar Polisi Anwas
Tanuamidjaja, dan lain-lain
Pembantaian terhadap
petinggi militer yang oleh PKI dimaksudkan untuk merebut kekuasaan dari
Presiden Soekarno yang dikabarkan tengah menderita sakit. Namun, gerakan
ini mengalami kegagalan total, karena tidak mendapat dukungan dari
rakyat. Dalam buku Soekarno File (karya Antonie Dake) dan Kudeta 1 Oktober 1965 Sebuah Studi tentang Konspirasi
(karya Victor M Fic) menyebutkan adanya dorongan dari Mao Tse Tung
(Ketua Partai Komunis Cina) yang bertemu dengan DN Aidit tanggal 5
Agustus 1965, agar dilakukan pembunuhan terhadap Pimpinan TNI AD, karena
Mao khawatir apabila Presiden Soekarno meninggal, maka kekuasaan akan
beralih kepada TNI Angkatan Darat yang kontra terhadap PKI. Bahkan,
kedua buku tersebut menyebutkan keterlibatan Presiden Soekarno dalam
pemberontakan G 30 S PKI.
Sebelum G 30 S 65/PKI
meletus, aksi teror dan kekerasan sudah mewarnai politik di Indonesia.
PKI secara langsung dan organisasi-organisasi pendukungnya merasa di
atas angin, sehingga mengebiri hak-hak hidup organisasi massa lain. PKI
bahkan mengusulkan kepada Presiden Soekarno agar HMI dibubarkan. PKI
juga mengusulkan dibentuknya angkatan ke-5—yakni mempersenjatai Barisan
Tani Nelayan dan Pemuda Rakyat dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia.
Situasi politik memang semakin memanas. Di depan apel kesiagaan Dwikora pada tanggal 2 April 1965, DN Aidit mengatakan, “Manipol
harus dibela dengan senjata, Manipol tidak bisa dibela hanya dengan
tangan kosong. Oleh sebab itu, latihan militer penting bagi orang-orang
revolusioner manipolis dengan tujuan membela Manipol dengan senjata.”
Pada saat HUT PKI-45
tanggal 23 Mei 1965 di Stadion Utama Senayan, DN Aidit menyerukan massa
PKI meningkatkan ofensif revolusioner sampai ke puncak. Seruan ini
dirangkai pula dengan seruan pada tanggal 9 September 1965, “kita
berjuang untuk sesuatu yang akan lahir. Kita kaum revolusioner adalah
bagaikan bidan daripada bayi masyarakat baru itu. Sang bayi lahir, dan
kita kaum revolusioner menjaga supaya lahirnya baik dan sang bayi cepat
besar.” Seruan-seruan DN Aidit tentu saja menjadi pemompa bagi kader-kader PKI di banyak daerah untuk melakukan aksi sepihak.
Struktur Pimpinan PKI, September 1965
Ketua Comite Central : DN Aidit
Dewan Harian Politbiro (Lima Anggota) : DN Aidit, Lukman, Njoto, Sudisman, Oloan Hutapea
Politbiro :
Dua belas anggota penuh:
DN Aidit, Lukman, Njoto, Sudisman, Oloan Hutapea, Sakirman, Njono,
Mohammad Munir, Ruslan Wijayasastra, Jusuf Ajitorop, Asmu, Rewang,
Empat calon anggota : Peris Pardede, A. Sanusi, Sucipto Munandar, F. Runturambi
Panitera : Iskandar Subekti
Comite Central : 85 anggota
(Dikutip dari buku Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto halaman 209 karya John Roosa)
Sejarah G 30 S 1965/PKI
sebenarnya sangat terang bagi Indonesia. Tetapi, setelah pada masa
Reformasi terhitung sejak tahun 1998, anggota-anggota PKI yang sudah
menghirup udara bebas setelah menjalani hukuman penjara, melakukan
ofensif memutarbalikkan fakta sejarah. Mereka juga melakukan pengkaderan
dan menyusupkan kader-kadernya di banyak sektor pemerintahan. Selain
itu, dibentuk pula organisasi-organisasi massa yang memperjuangkan dan
menuntut hak-hak politik dan perdatanya.
Melalui buku-buku, film,
tulisan-tulisan lepas di internet dan media massa cetak, pemutarbalikkan
fakta sejarah dengan menempatkan diri sebagai ”korban” dilakukan. Tidak
cuma itu, tuntutan melalui ranah hukum dan politik dilakukan. Namun,
langkah-langkah tersebut selalu menemu kegagalan. Tetapi, mereka tidak
pernah berhenti menyebarkan virus Komunisme untuk mempengaruhi Bangsa
Indonesia.
PKI memang telah
dibubarkan pada tanggal 12 Maret 1966. Tap MPRS XXV/1966 telah menjadi
ketetapan hukum untuk melarang ajaran Marxisme, Leninisme dan Komunisme
di Indonesia. Pada masa Reformasi telah disahkan pula Undang Undang No
27/1999 tentang Keamanan Negara yang memberikan sanksi pidana sampai
hukuman 12 tahun penjara bagi orang dan organisasi massa yang berniat
menggantikan ideologi Pancasila melalui segala macam bentuk kegiatannya.
Namun demikian disinyalir masih banyak yang berusaha menghidupkan idiologi terlarang itu dan oleh karenanya harus diwaspadai.
PENUTUP
Rangkaian perjalanan
sejarah PKI sejak sebelum Kemerdekaan, setelah Kemerdekaan dan Reformasi
tetap konsisten mengusung ideologi kekerasan. Ajaran dedengkot Komunis
Internasional memang sudah dicangkokkan sebagai inspirasi para kader
Komunis untuk merebut kekuasaan di mana pun mereka bisa tumbuh.
Indonesia yang dikenal memiliki nilai-nilai keagamaan yang kukuh tentu
saja tidak bisa menerima kehadiran paham Komunis dalam segala bentuknya.
Itulah mengapa, Pancasila kemudian menjadi pilihan Negara dan Bangsa
Indonesia, sebagai sebuah paham yang menjadi inspirasi dalam pembangunan
Nasional—baik pembangunan spiritual maupun material.
Patut disayangkan memang,
anak-anak Bangsa yang seharusnya bisa ikut berperan aktif dalam
membangun karakter Bangsa, justru keblinger terhadap ajaran Marxisme,
Leninisme, Maoisme, dengan menggunakan topeng kepalsuan, mengatakan
memperjuangkan nasib rakyat. Padahal, sejarah Komunisme di dunia telah
mencatat lebih dari 100.000.000 nyawa manusia hilang sia-sia, hanya demi
perbedaan paham dan untuk mempertahankan kekuasaan.
Demokrasi dan Hak Asasi
Manusia tidak mengenal adanya pembantaian terhadap nyawa manusia. Namun,
untuk menyokong agar ideologinya bisa diterima masyarakat, para kader
Komunis di mana pun bersedia melepas baju kekejamannya dan tampil
sebagai seorang humanis sejati. Artinya, sebelum cita-cita merebut
kekuasaan berhasil, Partai Komunis akan menggunakan atribut apa pun
untuk melakukan penyamaran.
Dan, kini para kader
Komunis sedang gencar-gencarnya mengubah sejarah kekejaman mereka
menjadi sejarah penindasan terhadap diri mereka. Inilah upaya yang
dilakukan untuk menarik simpati dengan menampilkan wajah humanisme.
Padahal, telah menjadi fakta sejarah, PKI adalah pelaku kejahatan
terhadap Bangsa Indonesia dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sungguh-sungguh licik. Padahal, tokoh-tokoh elit PKI sendiri sudah
mengakui, kalau PKI-lah yang berada di balik Gerakan 30 September 1965
sehingga menyebabkan pertumpahan darah anak-anak bangsa. Upaya menghapus
jejak kekejaman PKI antara lain dilakukan dengan menghapuskan
Pemberontakan PKI tahun 1948 di Madiun dan menghilangkan kata PKI dari
Gerakan 30 September 1965 di dalam buku pelajaran IPS/Sejarah Kurikulum 2004 dari tingkat SD sampai dengan SMA.
Tetapi, cara licik kader Komunis terbongkar dan akhirnya Kejaksaan
Agung pada bulan Mei 2007 melarang buku-buku tanpa menyebut PKI
digunakan di sekolah dan harus dimusnahkan.
Mohammad Hatta sudah
mengingatkan ”kalau ada orang Komunis yang mengatakan ia percaya pada
Tuhan, atau seorang Islam mengaku dirinya Marxis, maka ada yang tidak
beres padanya.” Nah!!!!
Bahan Bacaan
- Dipodisastro, Soemarno, 2007, Kesaksian Sukitman Penemu Lubang Buaya, Jakarta : Yayasan Sukitman
- Hartisekar, Markonina dan Akrin Abadi. 2001, Mewaspadai Kuda Troyo Komunisme di Era Reformasi, Jakarta : Pustaka Sarana Kajian
- Ismail, Taufiq, 2004, Katastrofi Mendunia Marxisma Leninisma Stalinisma Maoisma Narkoba, Jakarta: Yayasan Titik Infinitum
- Moeljanto DS dan Taufiq Ismail, 1994, Prahara Budaya Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk, Jakarta : Mizan dan Harian Umum Republika
- Mansur Abubakar, 2008, Bunga Rampai Ex PKI, Komunis Gaya Baru-Ex PRD-PAPERNAS Memutar Balikkan Fakta Sejarah, Kediri : Gerakan Nasional Patriot
- Panduan Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya Jakarta, Pusat Sejarah TNI
- Roosa, John, 2008, Dalih Pembunuhan Massal, Jakarta : Hasta Mitra
- Zon, Fadli dan M Halwan Aliuddin, 2005, Kesaksian Korban Kekejaman PKI 1948, Jakarta : Komite Waspada Komunisme
Penulis: Bakarudin - Soeharto Online
No comments:
Post a Comment