Friday, 24 July 2015

Masih Perlukah Sidang Isbat

Hapus Sidang Isbat

Di Indonesia, perbedaan penetapan awal Ramadhan dan Idul Fitri sudah dianggap sesuatu yang lumrah. Hal ini terjadi karena perbedaan metode yang digunakan untuk menentukan awal Ramadhan dan Idul Fitri. Tak jarang, perbedaan ini menimbulkan gesekan di masyarakat, khususnya yang tak bisa menyikapi perbedaan ini secara dewasa.

Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta KH Ali Musthofa Ya’qub mengatakan, penenatapan awal Ramadhan dan Idul Fitri seharusnya menjadi domain pemerintah. Menurut dia, negara memiliki otoritas untuk menentukan awal Ramadhan dan Idul Fitri. Jebolan Universitas King Saud, Arab Saudi Jurusan Tafsir dan Hadis ini bahkan sudah mengusulkan, agar pemerintah mengambil alih penenatapan awal Ramadhan dan Idul Fitri.

Alumni Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang Jawa Timur ini mengatakan, hal itu perlu dilakukan demi menjaga kerukunan dan harmoni umat. Sebab ia khawatir, perbedaan dalam menentukan awal Ramadhan dan Idul Fitri akan memicu perpecahan dan menimbulkan gesekan di masyarakat. Selain mendesak pemerintah mengambil alih penetapan awal Ramadhan dan Idul Fitri, pria kelahiran Batang, Jawa Tengah, 2 Maret 1952 ini juga menyarankan agar sidang isbat dihapus. Karena menurut dia, sidang tersebut hanya menghambur-hamburkan uang.

Demikian penuturan lulusan Fakultas Syariah Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud, Riyadh, Arab Saudi ini beberapa waktu lalu. Wawancara dilakukan di ruang Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta.

Di Indonesia, penentuan awal Ramadhan dan Idul Fitri sering berbeda. Tanggapan Anda?
Saya sudah mengusulkan waktu SBY masih Presiden supaya tidak ada namanya sidang isbat. Pemerintah melalui Menteri Agama yang menentukan. Jadi tidak perlu ada sidang.

Kenapa dengan sidang isbat?
Sejarahnya, sidang isbat itu dulu dilakukan karena banyak orang yang menetapkan awal Ramadhan dan Idul Fitri sendiri-sendiri. Dukun bayi menetapkan, ormas menetapkan dan hasilnya berbeda-beda. Sehingga, pada tahun 1972 ada inisiatif bagaimana menyatukan.

Hasilnya?
Ternyata sejak dulu hingga sekarang gak bisa bersatu. Kalaupun bersatu kebetulan saja.

Apa yang menyebabkan sering berbeda?
Karena orang Indonesia menetapkan 1 Ramadhan, 1 Syawal, itu menggunakan sembilan metode. Padahal Nabi hanya mengajarkan dua metode saja. Itu yang menyebabkan tidak bisa sama dan sulit untuk menyatu.

Apakah sudah ada upaya untuk menyatukan?
Majelis Ulama Indonesia pada akhir 2003 memprakarsai pertemuan ulama ulama dari banyak elemen. Sekitar 400 orang berkumpul di Hotel Indonesia dari 14 hingga 16 Desember 2003.

Hasilnya?
Mereka menelurkan 3 poin terkait Ramadhan dan Idul Fitri.
1. Yang berhak menetapkan 1 Syawal dan 1 Dzulhijjah untuk wilayah NKRI adalah Menteri Agama.
2. Keputusan Menag ini berlaku untuk seluruh wilayah NKRI.
3. Umat Islam wajib menaati hukum ini dalam kapasitas pemerintah sebagai Ulil Amri.

Apakah rekomendasi ini efektif?
Tapi namanya fatwa kan tidak mengikat. Tahun 2004 berjalan sama-sama, kebetulan, 2005 sama. Tapi 2006 berbeda lagi. Bahkan ada oknum ketua MUI yang ikut menggodok fatwa merayakan Idul Fitri lebih dulu dari pemerintah.

Lalu bagaimana solusinya?
Pemerintah dan DPR perlu membuat Undang-Undang Hari Raya. Jika tidak, perbedaan ini akan menjadi alat untuk memecah belah umat. Selanjutnya memecah belah bangsa. Makanya pemerintah sangat perlu sekali membuat Undang-Undang Hari Raya.

Sebenarnya apa dasar untuk menentukan awal Ramadhan dan Idul Fitri?
Dasarnya hadis. Niat puasalah kamu saat melihat bulan terlihat. Kalau bulan tidak terlihat genapkan 30. Jadi begini. Sekarang bulan kelihatan besok puasa. Besok kelihatan lusa puasa. Sekarang kelihatan besok Lebaran.

Lalu kenapa jadi ada sembilan metode?
Karena ada yang menafsirkan menurut mereka sendiri. Misalnya di Sumatera Barat ada yang menetapkan 1 Ramadhan dan 1 Syawal menurut perasaan. Itu penafsiran darimana? Di Sulawesi Selatan menggunakan tanda-tanda alam. Di daerah Kebumen, Purworejo mimpi ketemu nabi. Di Jombang memakai aboge.

Selain itu?
Ada yang mengikuti Mekkah. Kalau Mekkah Lebaran, kita Lebaran. Kalau Mekkah puasa dulu ya ikut dulu. Jadi kalau nabi hidup lagi, lihat orang Indonesia itu akan bingung. Dulu yang saya ajarkan dua saja kok jadi sembilan.

Apakah fenomena seperti ini juga terjadi di negara lain?
Setahu saya tidak ada. Brunei, Malaysia, Pakistan, Saudi Arabia, Mesir mengikuti pemerintah.

Bagaimana ketika zaman Nabi Muhammad?
Kalau zaman Rasulallah lihat bulan. Selama ini nabi menggunakan rukyat. Ini menurut Imam Al Khatabi. Didukung oleh Imam Ibnu Jamiyah dalam fatwanya. Buya Hamka saja kembali kepada rukyat.

Bagaimana dengan metode hisab?
Metode hisab itu mulai ada sejak pertengahan abad ke 4 Hijriyah. Alasan orang menggunakan hisab karena penafsiran. Hadis tadi dicari yang tidak jelas, ada puluhan riwayat, kalau tidak kelihatan genapkanlah menjadi 30 hari. Menurut ilmu hadis, kaidah yang tidak jelas diterangkan dengan yang jelas. Ayat sama ayat itu saling menerangkan, hadis dan hadis lain itu saling menerangkan. Yang bagus semua hadis diambil, jangan ada yang ditinggalkan.

Bagaimana metode hisab digunakan di Indonesia?
Saya tidak tahu keputusan dimulai hisab di sini itu darimana. Namun metode ini digunakan di Indonesia sejak tahun 1967.

Bagaimana jika metode rukyat dan hisab digabungkan?
Saya kira sulit digabungkan antara metode hilal dan hisab, karena lain pijakannya.

Jika pemerintah mengambil alih penentuan awal Ramadhan dan Idul Fitri, apakah itu tidak intervensi?
Perintah Allah kita harus bersatu. Berbeda boleh, tapi jangan sampai bercerai. Kalau ada perbedaan kata Rasulallah, ikutilah pendapat yang mayoritas. Dalam Islam tidak ada perbedaan antara agama dan negara. Ini masalah rakyat adalah masalah negara. Karena ini bisa menimbulkan disintegrasi bangsa.

Bagaimana dengan ormas?
Ormas boleh memberikan pendapat, tapi jangan menentukan. Kalau setiap ormas menentukan, berapa ormas di Indonesia, pasti kacau. Ini bukan masalah keyakinan, ini masalah ijtihad. Kalau pemerintah tidak ditaati apa artinya Ulil Umri?

Nanti pemerintah akan dituding otoriter?
Saya kira tidak berarti pemerintah otoriter. Penetapan pemerintah itu menghilangkan perbedaan. Jadi pemerintah harus punya peran.

Apakah hal ini sudah disampaikan ke pemerintah?
Saya sudah pernah menyampaikan kepada Menteri Agama Lukman Hakim Saefudin. Tidak perlu pakai sidang, apalagi konon biayanya sampai Rp160 miliar. Itu sah, menurut hukum islam. Dasarnya fatwa MUI. Metode yang digunakan itu urusan Menteri Agama.

Bagaimana sebenarnya perayaan Idul Fitri di Arab Saudi?
Idul Fitri di Arab Saudi, berbeda dengan di Indonesia. Lebaran di sana tidak semeriah di Indonesia. Kalau di Indonesia budaya yang mengikuti Lebaran sangat terasa, seperti ketupat.

Apa pesan Anda untuk masyarakat di Hari Raya Idul Fitri ini?
Idul Fitri adalah sebuah kebersamaan. Ketika orang berhari raya, mesti ada kebersamaan. Secara umum Ied itu peristiwa kebersamaan. Lebaran itu bisa dalam bentuk kebersamaan seperti silaturahmi, ngasih makanan.

Apakah merayakan Idul Fitri juga berarti harus mengenakan baju baru?
Memang ada kisah dari hadis soheh yang menyatakan, Sayyidina Umar memberikan Nabi Muhammad baju baru untuk menyambut tamu.
Namun, baju baru yang sebenarnya adalah baju ketaqwaan. Diharapkan menjadi lebih taqwa dari sebelumnya. Dan menjadi awal dari ketaqwaan yang lebih bagus. (ren)

Sumber: Viva Online (17 Juli 2015)

No comments:

Post a Comment